Kasmaran

Noer ArdiansjahNoer Ardiansjah - Minggu, 08 Januari 2017
Kasmaran
Ilustrasi cinta. (Istimewa)

Saat hari sudah mendekat senja, di atas bukit Lokasmara nampak seorang puan dengan tudung yang membaluti rambutnya yang panjang. Duduk bersila sambil mendekap kecapi kesayangannya. Surwati, seorang wanita yang berkacamata itu memilih menepi, sendiri, setelah sebelumnya begitu riang memainkan sebuah tembang kesukaannya, sebaris syair tentang kisah dari selatan.

Masih di bukit itu, embusan angin yang bersilir jelas menambah suasana tenang bagi Surwati yang tidak lagi muda dan tidak juga terlalu tua. Belum lagi akan pesona cakrawala yang tumpah sebab pantulan cahaya. Siapa pun manusia yang duduk di bukit itu, pasti, yakin, mesti akan merasakan ketenangan serta kenikmatan seperti yang dirasakan oleh sang puan, Surwati.

"Aku harus berani," ucapnya. "Besok aku harus bergabung dengan perkumpulan kecapi itu."

Boleh dibilang, Surwati merupakan seorang puan dengan segala sifatnya yang katakan saja, unik. Penting untuk diketahui, dalam perilaku yang unik, justru terdapat kepribadian yang menarik. Meski terlihat garib. Namun, dari hal tersebutlah mereka itu mempunyai ciri khas individu yang kuat. Tidak seperti kebanyakan manusia lainnya yang hanya meniru jati diri orang lain.

Kasarnya, tidak memiliki kepribadian yang patut untuk dijadikan tauladan. Lakon yang dimainkan, melulu menuruti tuntutan hidup yang sejatinya tidak menuntut apa-apa. Lakon bayangan dari sebuah dagelan, panggung sandiwara yang banyak direkayasa oleh para pemain itu sendiri.

Sudah pasti, manusia macam itu tidak bisa menentukan sikap, ketegasan untuk melakukan tindakan. Orang tua yang adalah Pramoedya Ananta Toer pernah menulis rangkaian kata memesona dalam bukunya, Bumi Manusia, "Sesekali dalam hidup, manusia mesti bersikap tegas. Tanpa ketegasan, manusia itu tidak akan menjadi apa-apa."

Dia yang memang pendiam dan tidak banyak tingkah, justru pancaran auranya keluar sehingga timbul pesona bagi siapa pun yang memandangnya, termasuk pemuda dari utara, Parmin.

"Aku harus katakan ini secepatnya kepada Parmin. Selain belajar lebih dalam mengenai kecapi, aku juga harus meminta saran," ucap Surwati sambil beranjak pulang.

Sementara itu, jauh di utara sana, ada seorang lelaki yang sedang duduk termenung. Memandang khusyuk bintang gemintang, menatap sang rembulan.

Dalam khayalnya, pemuda itu menceracau. Seperti merapal sebuah mantra atau sebut saja, seperti sedang berseloka. Entah untuk bintang gemintang, atau sang rembulan, atau untuk wanita yang adalah Surwati.

Sekali lagi, entah. Hanya Parmin dan Tuhan yang tahu.

"Ya Gusti. Engkau kembali mengikat sebuah nama di dalam hatiku. Tolong. Tolong longgarkan ikatan itu. Engkau tahu, hati ini begitu rentan terhadap hal yang keras. Cinta dan rindu adalah perkara yang keras. Tidak bisa lagi melebutkan jiwa. Seperti halnya kera rabies yang sedang kasmaran. Menggila sejadi-jadinya," ujar Parmin sambil memejamkan mata dengan posisi mendongak ke langit.

Paginya, udara masih tetap dingin meski sinar matahari sudah nampak menjengul di sekitaran bukit. Persis di bukit Lokasmara yang telanjang bulat itu, samar diselimuti kabut putih. Dengan bentuk warna yang tajam agak merah kekuning-kuningan, memberikan sebuah lukisan yang sungguh memesona. Kicau beberapa burung yang saling sahut-menyahut, terang menambah istrumen lain pagi itu.

Derap langkah pemuda yang berwarna kulit agak hitam, perlahan menuju bukit Lokasmara. Tiada janji terikat untuk bersemuka dengan Surwati. Namun, pemuda itu tahu setiap momen tertentu Surwati akan pergi menuju bukit untuk menikmati pemandangan serta suasana alam.

"Surwati?" tegur Parmin.

Surwati menjadi kikuk. Terkesiap. Ada getar di dada saat melihat kedatangan Parmin.

"Eh, Parmin," jawab Surwati yang gelagapan.

Antara mata saling bersitatap. Terjadi adu rasa. Parmin yang semakin membesar rasa cintanya kepada Surwati, sedangkan Surwati... Tanyalah sendiri kepadanya. Kepada wanita itu, Surwati.

"Surwati, maukah kamu menuruti keinginanku?"

"Keinginan apa? Katakanlah."

Giliran Parmin yang tercenung. Sekonyong-konyong, lidah terasa kelu. Matanya menyorot bola mata Surwati sambil sesekali menatap ke bawah.

Melihat Parmin seperti itu, Surwati lekas ambil suara. Penasaran tentunya atas apa yang akan dikatakan Parmin, sosok pemuda yang merupakan teman terbaiknya. "Apa yang ingin kamu katakan, Parmin?"

Parmin mendeham. Gelagapan. "Begini, Sur, Aku rasa, cerita ini sudah cukup. Katakan saja, selesai."

Tabik!

#Cerpen Merah Putih #Cerita Cinta #Kisah Cinta
Bagikan
Ditulis Oleh

Noer Ardiansjah

Tukang sulap.
Bagikan