Hari Kesehatan Mental Sedunia

Karakter Softboy, Bentuk Protes Industri Perfilman atas Toxic Masculinity

Dwi AstariniDwi Astarini - Minggu, 10 Oktober 2021
Karakter Softboy, Bentuk Protes Industri Perfilman atas Toxic Masculinity
Karakter softboy kini jadi pria ideal kesukaan para perempuan. (foto: IMdb)

TUBUHNYA mungil yang mungil selalu berbalut jaket warna cerah biru-merah, pembawaannya kikuk, tapi tak selalu rendah diri. Tak ada satu pun yang terlihat macho dalam karakter Otis Millburn yang diperankan Asa Butterfield di serial hit Netflix Sex Education. Namun, entah bagaimana, karakter tak gagah itu justru memikat perempuan pintar seperti Maeve Wailey bahkan membuat cewek sohor sesekolahan, Ruby, patah hati. Apa yang begitu spesial sehingga Otis yang enggak 'cowok banget' itu jadi magnet cewek?

Di balik fisiknya, Otis punya kelembutan, empati, dan kecerdasan emosional yang mumpuni. Kelembutan serta-merta memikat hati perempuan. Karakter Otis merupakan salah satu softboy dunia perfilman yang jadi bentuk protes terhadap pandangan toxic masculinity.

BACA JUGA:

Belajar Melawan Toxic Masculinity dari Idola K-Pop

Istilah toxic masculinity merujuk pada keadaan ketika seorang laki-laki dipaksa untuk berperilaku dengan cara tertentu. Seperti disebutkan Very Well Mind, American Psychological Association mulai menyadari bahwa tekanan sosial toksik yang ditempatkan pada laki-laki itu akhirnya menimbulkan konsekuensi dratis bagi individu maupun masyarakat. Batasan-batasan berbentuk cibiran atau ujaran kebencian akhirnya menjadi sesuatu yang berbahaya bagi pria. Mereka jadi tak dapat mengeksepresikan diri dengan bebas karena ditahan sesuatu yang bernama pandangan masyarakat. Lebih lanjut, ini semua akhirnya dapat berdampak pada kesehatan mental.

timothee chalamet
Timothee Chalamet sukses membawakan karakter softboy di Call Me By Your Name. (foto: IMDB)

Dalam industri perfilman, telah lama, karakter pria digambarkan sebagai jagoan. Punya kekuatan fisik superior, agresif, dan jauh dari hal-hal feminin. Kini, gambaran itu mulai berubah. Seiring makin banyak perempuan yang mengidamkan pria lembut dan 'berperasaan', karakter softboy jadi 'sesuatu' yang hype di dunia perfilman.

Selain Butterfield, bintang Beautiful Boy dan Call Me By Your Name, Timothée Chalamet, ialah generasi baru softboy. Bintang film asal Amerika berusia 23 tahun itu telah menunjukkan bakat aktingnya memerankan Elio, seorang pria softboy di Call Me By Your Name pada 2017. Film yang mengangkat kisah kebangkitan seksual remaja aneh itu, seperti dilansir QUARTZ, telah menarik para fans yang beragam dan menghasilkan lebih dari USD 41 juta (sekitar Rp 584 miliar) di box office seluruh dunia.


Revolusi Softboy

Sex education
Dalam contoh Otis, softboy ialah sahabat straight terbaik pria gay.(foto: IMDB)

Istilah softboy pertama kali diungkapkan penulis Alan Hanson dalam sebuah artikel yang diterbitkan Medium. Softboy kerap digambarkan sebagai kebalikan dari fuckboy. Atau dalam contoh Otis, softboy ialah sahabat straight terbaik pria gay. Lebih daripada itu, softboy menjauh dari stereotipe maskulin. Mereka menggunakan kefemininan dan kerentanan emosional mereka untuk menarik perhatian perempuan.


Dalam budaya pop, softboy terlihat jelas dari kepopuleran selebritas semacam Chalamet dan Harry Styles. Para softboy itu mungkin tampil mengenakan outfit perempuan, menantang maskulinitas tradisional. Mereka bahkan tak ragu menampilkan sisi feminin kepada publik. Di media sosial dan wawancara, mereka tak ragu menunjukkan kerentanan. Pada saat yang sama, mereka berani mengambil peran tak konvensional. Membangun citra baru pria muda pemikat hati perempuan. Usaha itu terbayar. Publik menyukai mereka.

Karakter Chalamet di Call Me By Your Name membuktikan itu. Selain sukses di box office, film itu tak pelak membuat banyak perempuan tergila-gila pada karater Elio, yang justru lebih tertarik pada pria ketimbang perempuan. Ya, bisa jadi salah satu yang membuat perempuan jatuh hati ialah wajah tampan Chalamet. Meski demikian, tampilan softboy bintang 23 tahun itu tak dimungkiri ikut berkontribusi.

Kepiwaian dan kenyaman Chamalet dalam membawakan karakter softboy memberi definisi baru simbol seks ala Hollywood.

Jadi tak dimungkiri bahwa kini istilah softboy telah melekat pada selebritas tertentu. Konsep itu pun didefinisikan ulang. Alih-alih dipandang sebagai fuckboy yang menyamar, para softboy ini dianggap sebagai pria dengan niat baik dan pemahaman yang cair mengenai perasaan mereka.

Meski demikian, ketika karakter softboy diasosiasikan dengan selebritas tertentu, menilai mereka dari hanya penampilan rasanya tak cukup adil. Memang sih, melabeli pria ramping dengan kulit halus, mata bulat, dan rahang kecil sebagai softboy cukup membuat kita percaya, tapi sejujurnya, karakter softboy bisa muncul dalam berbagai bentuk fisik.

Brad Pitt, contohnya. Aktor yang sangat menggambarkan maskulinitas itu juga mulai berani menampilkan sisi lain seorang pria. Lewat penampilannya di Ad Astra, Pitt ikut memerangi toxic masculinity. Seperti dikabarkan Vogue, Pitt--sering memainkan peran yang kuat--menjadi lembut dan emosional dalam memerankan karakternya di Ad Astra. Di era ketika industri perfilman ikut mematahkan penyakit toxic masculinity, Pitt tampaknya menggunakan perannya untuk memicu percakapan yang lebih besar.

Untuk Ad Astra, Pitt memberikan pendapatnya di Festival Film Venesia. "Apa yang sebenarnya kami gali, tanpa memberi label terlalu banyak, ialah definisi maskulinitas ini. Dibesarkan di era kita diajari untuk menjadi kuat, tidak menunjukkan kelemahan, tidak diremehkan, dan sebagainya membuat kamu merasa malu, baik nyata atau imajiner. Itu jadi penyesalan dalam hidup,” kata Pitt.


Pria Modern, Makin Lembut

brad pitt
Menampilkan sisi rentang seorang pria dalam Ad Astra. (foto: IMDB)

Penerimaan atas konsep softboy ini membawa dampak yang besar. Salah satunya memerangi toxic masculinity. Quartz menyebut, dalam sebuah studi di 2015, pria yang memahami emosi mereka tanpa harus bereaksi berlebihan untuk itu, pria yang bisa mengungkapkan perasaan mereka dengan kata-kata, amat menarik perhatian perempuan.

Dalam studi lain di 2017, hanya 7,4 persen pria yang menganggap tampilan atletis dan fisik sempurna sebagai hal penting. Sebanyak 14,4 persen menganggap kedua hal itu tak penting. Dalam survey yang sama, diketahui bahwa ada beberapa hal yang dihargai di kalangan pria, yakni kejujuran, keandalan, kesetiaan, dan kemandirian. Itu jelas menunjukkan betapa ideal pria-alfa di generasi lalu telah berubah di masa kini.

Selain Butterfield dan Chalamet, ada juga Noah Centineo dalam To All The Boys I Loved Before yang sukses membuat karakter softboys jadi idola para perempuan. Jadi meski masyarakat telah punya sejarah panjang mengajarkan maskulinitas lewat pertunjukan kekuatan, ketangguhan, atletisme, dan keunggulan heteroseksual lainnya, para softboy yang jadi idola baru di industri perfilman jelas-jelas tak mendukung nilai-nilai itu.

"Itu sebenarnya benar-benar membebaskan perasaan dan hanya untuk mengekspos sisi buruk diri kamu saja," kata Pitt kepada Kyle Buchanan dari The Times.

Ia bahkan memberikan catatan untuk pria mana pun di luar sana yang masih menahan emosi dan menghindarinya. “Faktanya, kita semua membawa rasa sakit, kesedihan, dan kehilangan. Kita menghabiskan sebagian besar waktu untuk menyembunyikannya, tetapi itu ada di sana, itu ada di dalam dirimu. Jadi kamu harus membuka diri (untuk melepaskannya)," pesannya. (mic)

BACA JUGA:

Pria, Jaga Mentalmu Sehat, jangan Terjebak Toxic Masculinity

#Film #Kesehatan Mental #Hari Kesehatan Jiwa Dunia
Bagikan
Ditulis Oleh

Dwi Astarini

Love to read, enjoy writing, and so in to music.
Bagikan