Kandas Perlawanan Penolakan UU Cipta Kerja

Andika PratamaAndika Pratama - Selasa, 29 Desember 2020
Kandas Perlawanan Penolakan UU Cipta Kerja
Buruh perempuan menggelar aksi tolak omnibus law cipta lapangan kerja (MP/Rizki Fitrianto)

MerahPutih.com - Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang disahkan DPR pada Senin (5/10) serta ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) menuai polemik di masyarakat.

UU Ciptaker atau Omnibus Law mendapatkan penolakan dari sejumlah kalangan. Aksi penolakan itu dilakukan melalui aksi demontrasi dengan turun ke jalan.

Baca Juga

UU Cipta Kerja Dinilai Belum Layak Diundangkan

Di sisi lain, kalangan buruh menolak mati-matian pengesahan RUU Cipta Kerja ini. Mereka bahkan akan melakukan gerakan mogok nasional Oktober 2020 (demo omnibus Law 2020) selama tiga hari.

Istilah omnibus law pertama kali muncul dalam pidato Presiden Joko Widodo setelah dilantik kembali menjadi Presiden RI untuk kedua kalinya, Minggu (20/10).

Sepanjang pembahasan, DPR terus menjadi sorotan publik dan digegerkan dengan gelombang aksi penolakan RUU Cipta Kerja mulai dari kalangan serikat buruh hingga mahasiswa di berbagai daerah.

Aksi penolakan itu diduga tak menguntungkan para buruh. Misalnya, peningkatan jam kerja, sistem kontrak, penetapan upah minimum, pesangon, pekerja kontrak, pekerja asing, hingga outsourcing.

Demo
Demo buruh tolak UU Cipta Kerja. (Foto: MP/Rizky).

Berikut adalah tahapan kegaduhan politik akibat UU Ciptaker yang dirangkum dari sejumlah sumber:

Berawal dari DPR

'Kegaduhan' ini berawal pada 22 Januari 2020 lalu. Saat itu, DPR memasukkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2020.

Setelah itu, pada bulan Februari 2020, DPR telah melakukan roadshow ke berbagai daerah untuk mensosialisasikan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini.

Hal senada juga dilakukan pemerintah. Pemerintah bergerak cepat meloloskan RUU Cipta Kerja.

Pada Februari 2020, mengklaim telah melakukan roadshow Omnibus Law RUU Cipta Kerja di 18 kota di Indonesia untuk menyerap aspirasi masyarakat.

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan, DPR bersama dengan pemerintah ngebut membahas RUU tersebut. Tercatat, DPR melakukan 64 kali rapat membahas RUU itu.

"Rapat dimulai Senin-Minggu, dari pagi sampai malam dini hari, bahkan reses melakukan rapat di dalam atau di luar gedung atas persetujuan pimpinan DPR," kata Supratman.

Baca Juga

Sah! Jokowi Teken UU Cipta Kerja 1.187 Halaman

Serikat Buruh Pun Bereaksi

Tanggal 1 Mei 2020, bertepatan dengan Hari Buruh Internasional, jadi 'pemicu' ribuan buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) beserta elemen serikat pekerja melakukan aksi penolakan di depan gedung DPR/MPR. Aksi ini juga berlangsung di sejumlah provinsi lainnya.

KSPI menyebutkan puluhan ribu buruh dari berbagai provinsi di Indonesia akan berunjuk rasa menolak revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13/2003 yang dianggap merugikan kaum buruh.

Pada Agustus 2020, aksi serupa kembali digelar ketika RUU Cipta Kerja kembali dibahas. Namun upaya unjuk rasa tersebut tidak membuahkan hasil.

Sejumlah Orang Ditangkap dan Diproses Hukum

Aksi buruh pun mendapat 'respon' dari penegak hukum lantaran terjadinya sejumlah kericuhan.

Polisi menangkap puluhan remaja karena diduga terlibat kerusuhan saat aksi di DPR/MPR dan Istana Negara. Para pelaku penyebar hoaks juga diciduk dalam perkara ini.

Polisi pun mencari pihak-pihak yang telah mengajak dan memprovokasi para pelajar bertindak anarkistis saat berunjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja itu.

Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui para pelajar tersebut mendapat undangan melalui media sosial.

"Ini yang akan kita selidiki semuanya. Jangan jadi korban anak-anak kita yang masih kecil ini, anak-anak SMP, SMA yang diajak untuk melakukan demo, bahkan mereka berani melakukan kerusuhan," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus beberapa waktu lalu.

Polda Metro Jaya bersama dengan jajaran Polres di wilayah hukumnnya mengamankan sebanyak 1.377 pemuda dan pelajar terkait unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Kerja, Selasa 13 Oktober 2020.

Saat dilakukan pendataan diketahui bahwa sekitar 80 persen dari 1.377 orang yang diamankan masih berstatus pelajar. Lima di antaranya bahkan masih duduk di tingkat Sekolah Dasar (SD).

"Dari 1,377 ini, dievaluasi 75-80 persen adalah anak-anak sekolah. Kurang lebih 900, 800 sekian, bahkan ada lima orang anak SD yang umurnya sekitar 10 tahun," kata Yusri

Disepakati Mayoritas Fraksi di DPR

Meski terjadi gelombang massa, RUU Ciptaker ini akhirnya disepakati oleh 7 fraksi yaitu PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, PKB, PPP, NasDem, dan PAN. Sedangkan dua fraksi yang menolak yaitu Demokrat dan PKS.

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak karena berpandangan RUU Cipta Kerja harus lebih mendalam dibahas. Pasalnya arah dan jangkauan pengaturan dari RUU Cipta Kerja telah berdampak terhadap lebih dari 78 undang-undang.

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyadari bahwa substansi pengaturan yang terdapat dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja memiliki implikasi yang luas terhadap praktik kenegaraan dan pemerintahan di Indonesia.

UU Cipta Kerja. (Foto: Tangkapan Layar).

Sehingga diperlukan pertimbangan yang mendalam apakah aspek formil dan materil dari undang-undang tersebut sejalan dengan koridor politik hukum kebangsaan yang.

"Ini kami sepakati bersama" tutur anggota Baleg DPR F-PKS, Ledia Hanifa Amaliah saat itu.

Begitu juga dengan Partai Demokrat yang menarik diri dari pembahasan RUU Cipta Kerja di Baleg karena situasi masih dalam pandemi COVID-19 dan RUU tersebut tidak begitu mendesak.

Fraksi Demokrat menarik diri dari pembahasan RUU yang tidak relevan dengan kebutuhan rakyat terkait COVID-19.

"Demokrat juga meminta Presiden menarik diri untuk sementara waktu dalam pembahasan RUU dan fokus kerja selesaikan masalah dan kebutuhan mendesak masyarakat," kata anggota Baleg DPR RI Fraksi Partai Demokrat DPR RI Benny K Harman.

Namun, rapat pembahasan tetap dilanjutkan bahkan pada Juli 2020, Baleg DPR RI tetap membahas RUU Cipta Kerja meski saat itu DPR tengah memasuki masa reses sejak 16 Juli 2020.

Dengan alasan, DPR dan pemerintah sudah sepakat bahwa RUU ini dibutuhkan untuk mengantisipasi krisis ekonomi.

Baca Juga

Tak Puas UU Cipta Kerja, Nih Cara Ajuin Judicial Review ke MK

Gaduh saat Pengesahan

Sidang paripurna pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja diwarnai debat panas antara peserta rapat dengan pimpinan DPR.

Demokrat ngotot ingin menyampaikan pandangan fraksinya terkait penolakan terhadap RUU Cipta Kerja.

"Ini RUU yang kami anggap sangat penting, dan juga kami ingin supaya publik tahu paling tidak mengapa fraksi kami menyatakan penolakannya terhadap RUU," kata anggota Fraksi Demokrat, Benny Harman.

Selaku pimpinan rapat paripurna, Azis Syamsuddin menjawab bahwa pandangan fraksi sudah termasuk dalam penjelasan yang disampaikan oleh Supratman.

Belum selesai Azis berbicara, Benny kembali interupsi. Ia tetap ngotot agar fraksi diberi kesempatan menyampaikan pandangan terkait RUU Cipta Kerja yang akan disahkan.

Pada akhirnya, tiap fraksi mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangan terkait RUU Cipta Kerja. Fraksi Partai Demokrat memilih walk out dari pembahasan pengesahan RUU Cipta Kerja.

https://merahputih.com/media/ec/fd/6d/ecfd6defdfa0a328f9b1db5b954a40c9.jpg
Ratusan buruh melakukan aksi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin, (3/8). (Foto: MP/Ponco Sulaksono)

Sebelum WO, ada debat panas antara PD dan pimpinan DPR yang memimpin rapat. Tak hanya itu, aksi mematikan mikrofon juga ditunjukkan oleh Ketua DPR RI Puan Maharani.

Sementara Anggota DPR RI Frakasi Partai Demokrat Irwan Fencho tengah memberikan interupsinya.

Tangan Puan tampak bergerak sebentar seolah memencet tombol dan begitu suara Irwan hilang posisi tangan Puan kembali lagi seperti semula.

"Menghilangkan hak-hak rakyat kecil. Kalau mau dihargai tolong ha.." belum sempat Irwan menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba suaranya tak terdengar lagi melalui mikrofon. Hilangnya suara Irwan berbarengan dengan gestur yang ditunjukkan Puan Maharani dari layar kamera.

Baca Juga

KSP Klaim UU Ciptaker Buka Peluang UMKM Kembangkan Usaha

Selisih Halaman dalam Draf UU Cipta Kerja

Hingga sepekan setelah pengesahan, ada 4 draf UU Cipta Kerja yang beredar ke publik dengan versi draf masing-masing. Berawal dari 905 halaman yang beredar.

Lalu, pada 5 Oktober 1.052 halaman.

Kemudian beredar kembali pada 9 Oktober 1.035 halaman. Hingga beredar pada 12 Oktober pagi dan 812 halaman beredar 12 Oktober pada malam hari.

Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar mengatakan, perubahan jumlah halaman karena perubahan format penyusunan dan spasi.

"Bahwa draf awal 905 kemudian berubah dengan alasan format penyusunan dan spasi sehingga menjadi 1.035, tapi beberapa jam kemudian menyusut menjadi 812 halaman, pernyataan seperti ini menambah kegaduhan di kalangan masyarakat luas," kata Indra.

Hingga Draf UU Cipta Kerja telah diserahkan DPR ke presiden melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno pada Rabu (14/10).

Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengakui adanya perubahan substansi dalam draf final dengan draf yang beredar sebelumnya.

Namun, ia menjelaskan, perubahan tersebut merupakan penyelarasan keputusan saat RUU masih dibahas. UU Ciptaker juga sempat disoroti kembali karena banyaknya revisi yang mengakibatkan adanya perubahan pada substansi.

Bahkan hingga Presiden Jokowi menandatangani draf UU Ciptaker setebal 1.187 halaman pada Senin (2/11) malam, masih ada pasal-pasal yang rancu di dalamnya.

Digugat di MK

Sontak, sejumlah elemen pun melakukan upaya judicial review. Salah satunya dari kelompok buruh yang merasa keberatan.

Mahkamah Konstitusi akhirnya menggelar sidang gugatan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Selasa (24/11). Sidang perdana uji materi digelar dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.

Gugatan tersebut diajukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang diwakili oleh Said Iqbal selaku presiden dewan eksekutif nasional KSPI, serta Ramidi selaku sekretaris jenderal. Mereka akan didampingi kuasa hukum Hotma Sitompoel.

Dalam laman mkri.id tercatat dengan nomor perkara 101/PUU-XVIII/2020. Said Iqbal sebelumnya mengatakan sidang gugatan UU Cipta Kerja ini akan jadi penentu kelanjutan demo buruh ke depan.

Demo buruh tolak UU Cipta Kerja. (Foto: Antara)
Demo buruh tolak UU Cipta Kerja. (Foto: Antara)

Pihaknya memiliki kegamangan dalam sidang uji materi ini. Kegamangan pertama, kata Said, terkait komposisi enam hakim MK yang menjabat setelah diusulkan oleh DPR dan Presiden. Pihaknya pun ragu apakah MK dapat memberikan keputusan yang adil atas uji materi itu.

Sebanyak tiga hakim MK diusulkan DPR, tiga diusulkan oleh pemerintah dalam hal ini presiden, sementara tiga hakim lainnya diusulkan Mahkamah Agung.

"Melihat komposisi itu, rasanya agak berat, (karena) enam artinya dari DPR dan pemerintah, akan bisa memutuskan seadil-adilnya," lanjutnya.

Pelaksanaan Pasal 81 UU Ciptaker

Selain itu, pihaknya juga gamang terkait angka pesangon dan upah minimum. Pasalnya, MK cenderung menolak gugatan yang terkait angka selama ini.

Meski di tengah kegamangan, pihaknya tetap meyakini hakim MK akan meletakkan rasa keadilan bagi buruh dalam merespons gugatan uji materi omnibus law UU Ciptaker.

Selain gugatan oleh KSPI, MK juga menggelar sidang uji materi omnibus law UU Ciptaker yang diajukan pemohon Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas, Novita Widyana, Elin Dian Sulistiyowati, Alin Septiana, dan Ali Sujito.

Agenda sidang adalah perbaikan permohonan. Para penggugat didampingi oleh kuasa hukum bernama Viktor Santoso Tandiasa. Perkara tersebut terdaftar dengan nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Kini, publik menantikan apa keputusan dari Mahkamah Konstitusi dan 'kegaduhan' apa lagi yang muncul akibat UU Ciptaker ini. (Knu)

Baca Juga

Sesalkan Demo Anarkis, Ketua Sahabat Polisi Bandung David Cahyadi Saran Penyelesaian UU Cipta Kerja di MK

#Analisis Isu #UU Cipta Kerja #Omnibus Law
Bagikan
Bagikan