Jejak Sunyi Monumen Seperempat Abad PSSI

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Minggu, 21 Januari 2018
Jejak Sunyi Monumen Seperempat Abad PSSI
Monumen Sepermpat Abad PSSI. (mkyk)

DJAJENGASMORO masih meraba-raba maksud Sri Sultan Hamengku Buwana IX mengajaknya bertemu di Jakarta. Setiba di rumah sosiolog Selo Soemardjan, pendiri sekaligus pengajar ASRI atau Akademi Seni Rupa Indonesia (ISI Yogyakarta, kini) langsung terlibat perbincangan serius.

Ngarsodalem Sultan memintanya untuk membuat monumen peringatan seperempat abad Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).

Seketika ide melintas di benaknya. Djajeng spontan membuat sketsa di hadapan Sri Sultan. Tak lama gambar sebuah bola di atas kelopak bunga teratai tergurat. Sri Sultan setuju, Djajeng pun siap bekerja.

Djajeng bekerja secara marathon. Ia menghimpun 80 pekerja, mulai dari pematung, tukang besi, tukang pahat kijing (nisan), tukang kayu, dan kuli angkut.

Dia mengajak dua orang ahli patung asal ASRI, Soeharto dan Arbei, serta tak lupa mendatangkan tukang kijing dan tukang baru dari wilayah Kuncen dan Pakem, Yogyakarta. Semuanya bekerja siang-malam di kediaman Djajeng.

Suara pahat beradu batu semakin tak pernah berhenti sehingga menarik warga sekitar berdatangan. “Jika kami melembur malam hari, banyak orang yang menonton,” kenang RM Suhardjo Djajengasmoro pada petikan wawancaranya dengan Butet Kertaredjasa dimuat dalam “Monumen Sepakbola itu Semakin Terlantar dan Kesepian” dikutip Tabloid Bola 13 April 1984.

Djajeng hanya punya tenggat sebulan pengerjaan, sejak pertemuannya dengan Sri Sultan di Jakarta bulan Mei 1955 silam. Waktu semakin menipis, sementara dia masih kesulitan mencari sebongkah batu besar untuk membuat bola dengan garis tengah satu meter utuh tanpa sambungan.

Setelah menelusur, Djajeng akhirnya mendapat batu besar sisa letusan Gunung Merapi di tengah sawah desa Pakem. Batu tersebut semula tak boleh diboyong lantaran dianggap keramat. Usai mendapat penjelasan kalau pengerjaan tersebut atas dhawuh atau perintah Kanjeng Sultan, maka semua pihak merelakannnya.

Selain bola-batu, sebuah pendopo lengkap dengan relief di bagian dalam tembok juga menjadi bagian tugasnya. Ia memercayakan tugas pembuatan relief itu kepada mahasiswa ASRI.

Djajeng mendapat honor tak lebih dari 50 ribu rupiah dari Sri Sultan. “Itu pun diangsur,” ungkapnya sembari tersenyum. Pendopo beserta monumen akhirnya rampung.

Pagi hari, 3 Juli 1955, di sudut desa Baciro, sisi timur kota Yogyakarta, ramai sesak hadirin. Tepat pukul 09.00 pagi, Presiden Soekarno menggunting pita didampingi Sri Sultan Hamengku Buwana IX dan Sri Paku Alam VII. Setelah itu Soekarno beranjak ke monumen bola –batu. Ia melepas kain hitam. Lantas tersibak Monumen Seperempat Abad PSSI.

Monumen itu menandai peringatan lahirnya organisasi sepak bola pribumi menjadi cikal bakal PSSI.

Organisasi tersebut lahir pada 19 April 1930, saat diadakan pertemuan di gedung Hande Projo. Tujuh bond atau perhimpunan sepak bola pribumi hadir, di antaranya Bandung, Jakarta, Magelang, Yogyakarta, Surabaya, Madiun, dan Surakarta.


Hasil pertemuan itu melahirkan “organisasi sepak bola pribumi yang merupakan tandingan dari NIVB. Organisasi itu bernama Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI),” dikutip dalam Bintang Mataram, 22 April 1930.

Monumen itu memang menjadi tonggak bagi kelahiran organisasi sepak bola di Indonesia. kendati demikian, bukan berarti ia terus diperlakukan baik.

Pemberitaan media masa di awal tahun 80-an mengabarkan Monumen Seperempat Abad PSSI sepi, pudar, tak terawat, hampir punah, bahkan menjadi barang mati.

Desas-desus alih fungsi lahan sempat mencuat. Di lokasi monumen, seturut lansiran kompas, sabtu 19 April 1980, akan dibangun asrama atlit, sebagai pelengkap menyusul rampungnya stadion Mandala Krida. Tapi, rencana tersebut gagal.

Upaya revitalisasi monumen sayup-sayup menemui titik cerah. Setelah 33 tahun tanpa perhatian, monumen tersebut kembali lahir. Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo meresmikan revitalisasi monumen pada April 2013.

Monumen tersebut bukan memang sembarang benda usang. Keberadaan serta racangannya memiliki makna filosofis. Djajengasmoro, perancang dan pembuat monumen menuturkan makna simbol monumen agar sepak bola bisa mensejahterakan masyarakat.

Kesejahteraan dilambangkan dengan bungai teratai mekar di tengah kolam dan air kolam menjadi simbol wilayah negara. (*)

#Monumen Seperempat Abad PSSI #PSSI #Sepakbola
Bagikan
Bagikan