LAPUT HUT 76 RI: Jago Revolusi Karawang-Bekasi

Jejak Cobra Bang Pi`ie Mencatuk Pusat Jakarta

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Selasa, 17 Agustus 2021
Jejak Cobra Bang Pi`ie Mencatuk Pusat Jakarta
Laskar Pejuang bersenjata bambu runcing. (Foto: MP/Fikri)

SEDAN Cabriolet kap terbuka melintas pelan di daerah Senen. Di kemudi tampak pria berkulit hitam, rambut keriting, tubuh mungil kekar sekira 1,55 meter, berkumis tipis, bertampilan necis dan rapih.

Para pejalan kaki, begitu berpapasan, langsung menghentikan langkah, mengangguk hormat. "Termasuk anggota Cobra sedang mabuk dan bernyanyi sekali pun," tulis Misbach Yusa Biran pada Kenang-Kenangan Orang Bandel.

Terkadang, pria berparaban lebih Arab ketimbang Betawi tersebut turun dari Cabriolet menemui para seniman di kedai makan Minang, Merapi, pertigaan Senen. Ia ramah menyapa, mengajak seniman banting kartu main cemek menggunkan domino.

Baca juga:

Masa Kecil 'Raja Copet Senen' Bang Pi`ie

Setelah kartu dibagi dua, Imam Sjafie atau karib disapa Pi`ie, akan menerka angka kartu di masing-masing. "Umpamanya ia terka 4, 6, 8, 9. Begitu kartu dibuka dugaannya betul. Kami kagum," kenang Misbach nan sehari-hari bergaul dengan orang 'dunia hitam' di Senen.

Pi`ie kondang sebagai pucuk pimpinan Corps Bambu Runcing (Cobra). Cobra dibentuk sekira 1949 atau awal 1950-an. Anggotanya merupakan bagian pejuang revolusi tak terserap program Rekonstruksi Rasionalisasi (RERA) Mohammad Hatta, sehingga kandas bergabung ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI).

laskar
Laskar pejuang berpose di depan kediaman Bung Karno. (Foto: NIOD)

Para pejuang kandas masuk TNI tersebut banyak kemudian kembali memainkan peran di dunia kriminal, seperti merampok. Beberapa laskar pejuang asal Senen kemudian menyambangi Bang Pi`ie kala itu berpangkat kapten.

"Pak, mereka ini sebetulnya bekas pejuang dan tidak ada punya mata pencarian," kata Irwan Sjafei`i, anggota Cobra, dikutip dari Muhammad Fauzi pada "Jagoan Jakarta dan Penguasaan di Perkotaan, 1950-1966," Tesis Sejarah FIB-UI. "Nah menurut kita-kita ini, kalau umpamanya ada dikasih mata pencarian enggak akan berbuat kurang baik begitu".

"Mata pencarian gimana, gajiku berapa," sahut Bang Pi`ie.

"Bukan itu". Di Jakarta, sambungnya, tampak ada persatuan keamanan. Namanya Pembantu Keamanan Kampung (PKK). Mukanya ditempel di rumah-rumah, di toko-toko. Tiap malam kalau diperhatikan enggak ada sebatang idung pun orang difoto itu muncul jaga keamanan. Tiba-tiba minta uang keamanan.

"Oh, iya juga. Kumpulin teman-teman. Namanya apa. Kan kita bekas Corps Bambu Runtjing," Bang Pi`ie mulai cari-cari nama pas untuk kelompoknya.

bang pi`ie
Keramaian Pasar Senen dibelah jalur rel kereta api. (KITLV)

Sejurus kemudian ia beroleh ide. "Udah Cobra gitu. Cobra, Corps Bambu Runtjing. Alah cocok-cocokin aja deh". Mereka pun sepakat.

Meski berasal dari kelompok 'dunia hitam' Jakarta, seperti copet, rampok, kecu, bromocorah, menurut Jerome Tadie pada Wilayah Kekerasan di Jakarta, Cobra tidak berkembang menjadi gerakan sosial berbahaya bagi pemerintah.

Pada awal 1950-an, banyak bermunculan organisasi penjaga keamanan, dan beberapa di antaranya beranggotakan bekas pejuang. Kemunculan organisasi tersebut, menurut Fauzi, menandai babak baru jago di Jakarta berkaitnya pentingnya organisasi dan ruang di dalamnya.

Baca juga:

Bang Pi`ie Kecil-Kecil Buaya Pasar Senen

Organisasi atau identitas kelompok tersebut, lanjut Fauzi, menunjukan pula pengaruh para tokoh lokal di lingkungan masing-masing setelah revolusi Indonesia.

"Ruang menjadi suatu pertarungan di antara mereka agar dapat tetap bertahan dan berpengaruh di suatu wilayah sehingga memudahkan meraih keuntungan secara ekonomis melalui 'uang keamanan' atau 'uang jago' diperoleh dari setiap pelaku bisnis atau usaha," tulis Fauzi.

bang pi`ie
Dua perempuan sedang berjalan di Pasar Senen. (KITLV)

Meski begitu, dari sekian banyak organisasi keamanan dibentuk di awal tahun 1950-an, hanya dua puluh organisasi disahkan Komando Militer Kota Besar Djakarta Raja (KMKBDR), termasuk Cobra. Di antara kedua puluh, Cobra satu-satunya organisasi keamanan beroleh izin operasi di dua rayon atau kecamatan, meliputi Senen dan Salemba.

Keberadaan Cobra di Senen dan Salemba, lanjut Fauzi, tentu memberi rasa aman kepada masyarakat pelaku ekonomi. Reputasi Bang Pi`ie dalam mengendalikan keamanan tampaknya menjadi pertimbangan militer mengajaka mereka mengatasi masalah keamanan di Jakarta.

Sebagai organisasi, Cobra punya aturan baku kepada setiap anggota. Jika ada anggotanya melakukan tindak pencurian, maka Cobra akan menyerahkan kepada polisi. Selain itu, apabila ada anggotanya dianggap kurang baik atau tidak disiplin, misalnya mengambil atau mencuri milik anggota lain maka akan dipukul dengan ekor ikan pari sebanyak 2-3 kali atau lebih.

Selain jasa keamanan, Cobra juga membuka tempat perjudian di Jakarta, meliputi Glodok, Tanah Tinggi, dan Jatinegara. Tempat perjudian mereka bahkan dapat berpindah di lain lokasi, semisal Tugu, Puncak, Jawa Barat.

bang pi`ie
Cobra masuk dalam 20 organisasi keamanan direstui KMKBDR. (Foto Nationaal Archief)

Perkara keuangan turut diatur secara rapih. Sebagian disisihkan untuk organisasi, keluarga, dan pendidikan. Misalnya ada anggota tertangkap dan dijebloskan ke bui, istri dan anaknya akan diurus selama masa penahanan itu. Sistemnya bisa dibilang dari jagoan untuk jagoan.

Sepak terjang Cobra kemudian menyurut seiring pergantian politik di tingkat Nasional, terutama imbas Gerakan 30 September 1965. Bang Pi`ie sebagai loyalis dan Menteri Keamanan Urusan Keamanan Rakyat ikut dijebloskan Orde Baru masuk bui.

Cobra kehilangan bukan cuma ketua, melainkan sosok kharimastik. Seturut pula, setelah persitiwa G 30 S, anggota Cobra khawatir dicap komunis. Mereka bahkan membakar semua dokumen terkait Cobra untuk menghilangkan bukti. (Sam)

Baca juga:

Aksi Bang Pi`ie Jago Revolusi

#Agustus Jagoan Negeri Aing #Jago Revolusi Karawang-Bekasi
Bagikan
Ditulis Oleh

Samantha Samsuddin

Be the one who brings happiness
Bagikan