MERRY tak lagi bisa memilih skema pembiayaan rumah sakit. Kondisi kesehatan suaminya semakin buruk meski baru pulang dari rumah sakit. Ia harus membawa pulang suaminya lantaran tak kuat harus membayar biaya operasi sebesar seratus juta rupiah.
Sejak kali pertama masuk rumah sakit akibat keluhan selalu mual disertai muntah sehabis makan, Merry menggunakan skema pembiayaan mandiri karena asuransi dari tempatnya bekerja tidak menanggung seluruh biaya.
Baca juga:
Setelah dilakukan pemeriksaan, ditemukan ada semacam benjolan di lambung suaminya sehingga tidak mampu menelan makan dengan baik. Dokter menyarankan agar suaminya menjalani rawat inap. Seminggu setalah rawat inap tagihan rumah sakit keluar.
Merry kaget melihat jumlahnya. Semakin kaget lantaran dokter menyarankan tindakan operasi dengan estimasi biaya sebesar seratus juta rupiah. Ia akhirnya membawa pulang suaminya.

Di rumah, kondisi suaminya tak kunjung membaik. Saban hari berat badan suaminya semakin berkurang karena hanya bisa mengonsumsi susu. Ia menilai suaminya harus segera beroleh tindakan medis. Satu-satunya jalan masih ia miliki melalui kema BPJS (Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial) Kesehatan.
Merry semula tak pernah berniat menggunakan BPJS Kesehatan. "Prosedurnya terlalu rumit. Tapi akhirnya enggak ada pilihan lain," katanya.
Baca juga:
Perjuangan Mahasiswa Penyintas COVID-19 Saat Harus Ujian Kenaikan Semester
Tak mudah mencari rumah sakit bagi pasien non-COVID-19 di masa lonjakan kasus terutama varian Delta pada Juli lalu. Seluruh rumah sakit penerima BPJS di Tangerang penuh. Ia harus segera beroleh rumah sakit karena kondisi suaminya semakin buruk. Dari Tangerang, Merry mecari rumah sakit di Jakarta.
Setelah ditolak beberap rumah sakit karena penuh, Merry akhirnya mendapat tempat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat. Di RSCM, ia bertemu seorang remaja asal Tangerang sama-sama sempat kesulitan mencari rumah sakit untuk anaknya karena banyak rumah sakit berfokus pada pasien COVID-19.

Josua mula-mula menemani ibunya dengan riwayat penyakit ginjal ke Puskesmas. Tak disangka, pihak Puskesmas mengajurkan agar ibunya segera diberi tindakan medis di rumah sakit. Ia beroleh rumah sakit rujukan di Tangerang, namun di sana tidak ada fasilitas IGD dan peralatan cukup. Persis seperti Merry, Josua akhirnya membawa ibunya ke RSCM agar seger beroleh tindakan medis. Setiba di RSCM, Josua harus menunggu antrean karena banyak pasien non-COVID-19 di IGD.
"Sampai IGD saya lihat kondisi ruangan sangat padat dengan orang sakit. Sekitar 30 pasien berada di sana belum dapat kamar maupun penanganan. Ibu saya juga baru dapat ruangan nunggu dua hari satu malam," kata Josua nan harus bolak-bali Jakarta-Tangerang menyiapkan segala administrasi.
Kekhawatiran Josua terbagi, antara kesehatan ibunya dan dirinya. "Masuk ke IGD situ ngeri banget. Mau napas aja takut kalo di dalem ruangan, takut kena COVID," tambah josua.

Dari situ josua menyadari ternyata banyak pasien non-COVID-19 di rumah sakit terbesar Jakarta sampai ada pasien ditempatkan di depan IGD karena penuh.
Keadaan genting di rumah sakit pada akhir Juni sampai Juli di Jabodetabek tak hanya berdampak bagi pasien terpapar COVID-19. Pasien non-COVID-19 harus cek berkala maupun baru menerima tindakan medis juga terkena dampak. Keluarga pasien harus pontang-panting mencari rumah sakit. Ditambah, pasien tersebut harus mengikuti protokol kesehatan, seperti minimal tes antigen atau PCR.
Di samping itu, keluarga pasien juga ketar-ketir keluar-masuk rumah sakit karena takut terpapar COVID-19. Apalagi varian Delta nan lebih cepat menjangkit dilaporkan banyak memapar para pasien COVID-19.
Di tengah tingginya angka kasus harian COVID-19, para pasien non-COVID-19 dan keluarga pencari rumah sakit merupakan jagoan di masa pandemi. (Jhn)
Baca juga: