JAGOAN NEGERI AING

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Minggu, 01 Agustus 2021
JAGOAN NEGERI AING
Jagoan Negeri Aing. (MP/Fikri)

ALVIANO Dava Raharjo, bocah kelas 3 Sekolah Dasar (SD), harus isoman sendirian di rumahnya, Kampung Linggang Purworejo, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Ibunya lebih awal meninggal dalam kondisi hamil lima bulan. Selang sehari, ayahnya menyusul berpulang, sama-sama terpapar COVID-19.

Vino, sapaan akrab anak penjual pentol perantauan Jawa, bahkan tak bisa mengantar kedua orang tuanya menuju liang lahat lantaran sebatang kara berjuang menanti hasil negatif. Ia masih kebingungan di kala malam karena biasa bercengkerama dengan orang tuanya nan kini tiada.

Vino, satu dari sekian anak di Indonesia harus hidup tanpa orang tua lantaran pandemi. Begitu pula ada para bayi harus menanti donor asi sebab ibunya meninggal terjangkit COVID-19 saat melahirkan.

Sekira 1,5 juta anak di seluruh dunia, menurut laporan gabungan diprakarsai CDC COVID-19 Respons Team pada jurnal The Lancet, berstatus kehilangan orang tuanya akibat paparan SARS-CoV-2.

Mereka, termasuk Vino dan anak-anak sebatang kara tanah air, harus berjuang sendirian menjadi jagoan agar tetap hidup dan menjalani kehidupan.

Pandemi membuat banyak orang, muda-tua, perempuan-lelaki, pekerja harian-bulanan, siapa pun, menjelma menjadi jagoan paling tidak untuk dirinya sendiri kemudian dengan sisa tenaga membantu sesama.

jagoan negeri aing
Jagoan Negeri Aing. (MP/Fikri)

Gelombang gerakan saling bantu, baik personal maupun berjejaring, bermunculan terdorong rasa kemanusiaan. Tujuannya macam-macam, dari mengelola pusat data, memberi pinjaman tabung oksigen, isi ulang oksigen cuma-cuma, bekal isoman, sandang-pangan gratis, pemberian obat dan vitamin, hingga alokasi uang bertahan hidup di tengah meningginya COVID-19 varian Delta di Indonesia.

Masyarakat sadar harus saling berjuang membantu sesama di saat kondisi tenaga kesehatan (nakes) babak belur dengan kondisi rumah sakit tak lagi kuat menampung serbuan pasien terpapar COVID-19. Selama pandemi, seturut data laporcovid19.org, per 31 Juli 2021, sebanyak 1.635 tenaga kesehatan gugur. Jumlah tersebut menjadi angka kematian nakes terbesar sepanjang sejarah Indonesia.

Para nakes, anak-anak sebatang kara termasuk para bayi, para penyintas dan pejuang isoman, pekerja harian, karyawan harus Work From Office, inisiator juga pelaku gerakan saling bantu, serta kurir dan ojek daring merupakan sejatinya jagoan di masa pandemi.

Di tengah keadaan morat-marit akibat meroketnya kasus harian COVID-19, Merahputih.com mengetengahkan tema JAGOAN NEGERI AING sebagai apresiasi terhadap kerja keras pantang menyerah nakes dan masyarakat penggiat segala usaha saling bantu juga sedang berjuang bertahan hidup. Mereka sejatinya jagoan di masa pandemi. Selain itu, momentum semangat perjuangan kemerdekaan juga melatari usungan tema tersebut di momen peringatan HUT ke-76 Republik Indonesia, agar perjuangan para jagoan tersebut semakin berlipat ganda.

Jagoan memang lebih sering tak tercatat sebab bekerja dalam senyap. Jago, asal kata jagoan, mengalami makna peyorasi sehingga digunakan mencap perilaku orang petantang-petenteng. Sorry bang jago. Ampun bang jago!

Jago sejatinya menempati posisi penting dalam struktur masyarakat Betawi sebagai pengampu maen pukulan atau silat. Mereka bukan orang sembarangan, lantaran selain pandai maen pukulan juga menggenapi ilmu agama, sehingga keahliannya digunakan dalam amar makruf nahi mungkar.

Cap negatif terhadap jago muncul saat beberapa di antara pandai silat tergoda direkrut sebagai centeng tuan tanah di area tanah partikelir (particuliere landerijen) pada masa tanam paksa (cultuur stelsel).

Berkebalikan sifat aslinya, tindakan para centeng pembela tuan tanah lalu memeras kaum lemah justru dipotret sebagai tindakan para jago kemudian tertanam kuat di masyarakat luas. Mereka digambarkan berkumis baplang, gondrong, dan murah mengeluarkan golok.

Bukan tabiat sejatinya jago bila asal buka golok. Jago menganggap golok sebagai benda suci. Tak sembarang dibawa, dibuka, apalagi dipakai buat sekadar menakut-nakuti kaum lemah. Jago saat menggunakan golok harus dalam keadaan dan untuk tujuan suci.

Pada masa revolusi, para jago terhubung dengan kaum pergerakan sehingga memainkan peranan penting pada perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Mereka berhimpun pada laskar-laskar di masing-masing daerah, terutama marak di sepanjang Karawang-Bekasi persis tergambar seperti pada puisi Chairil Anwar dan novel Pramoedya Anata Toer, Di Tepi Kali Bekasi.

Berbeda dengan konsep hero Barat senantiasa tampil sebagai tokoh sentral, Jagoan di Indonesia acap jadi gelombang massa atau meski muncul tokoh namun sayup-sayup dan penuh mitos. Meski begitu, urgensi kehadiran heroi atau jagoan tetap sama ketika kondisi sosial, ekonomi, dan politik macet.

Para jagoan di masa pandemi, kebanyakan orang biasa, rakyat jelata, masyarakat, muncul karena muak melihat polah para panggedhe mengecilkan bahaya COVID-19 sejak awal, mencatut dana bantuan sosial, rajin membuat istilah pembatasan sosial, mengganjar pedagang kecil dan rakyat dengan Undang-Undang tapi tak menggunakannya saat pemenuhan kebutuhan di masa pembatasan sosial, tak pernah terang melaporkan data COVID-19, dan malah menonton sinetron saat nakes dan masyarakat amburadul bertahan hidup.

Kalau dilakukan maka akan menimbulkan kekacauan menyesarakan rakyat, menyesengraya, menyesengrayakan rakyat itu. Saya ulangi biar enggak diketawai. Menyesengrakan, menyesengsarakan rakyat! (*)

#HUT RI #17 Agustus #Kesehatan #Game #Film #Musik #Wisata #Teknologi #Fashion #Agustus Jagoan Negeri Aing
Bagikan
Bagikan