Bisnis

Investasi Hijau Bakal Berkembang pada 2023

Hendaru Tri HanggoroHendaru Tri Hanggoro - Rabu, 21 Desember 2022
Investasi Hijau Bakal Berkembang pada 2023
Investasi hijau merupakan kegiatan penanaman modal yang memiliki komitmen pada pelestarian alam dan lingkungan hidup. (Foto: Freepik/User6702303)

INDONESIA memiliki potensi besar dalam investasi hijau. Bank Indonesia memproyeksikan potensi nilai investasi di sektor bisnis yang berkaitan dengan ekonomi hijau ini mencapai lebih dari 600 miliar dolar AS.

Sejumlah sektor yang diprediksi bakal menjadi primadona investasi hijau pada tahun depan antara lain pengembangan energi baru terbarukan dan pengembangan ekosistem kendaraan listrik.

Besarnya prospek ekonomi hijau ini memerlukan dukungan dari sektor lain, seperti sektor keuangan dan swasta. Sebab, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diperkirakan hanya mampu mendukung sekira 34 persen kebutuhan investasi hijau.

Tak mengherankan, jika dalam satu tahun terakhir, industri perbankan dan pembiayaan makin gencar menerbitkan instrumen investasi hijau dalam bentuk obligasi hijau (green bond). Berdasarkan data industri perbankan nasional, per kuartal III 2022, sejumlah bank nasional tercatat telah menyalurkan lebih dari Rp 690 triliun kredit hijau.

Secara prinsip, ekonomi hijau berfokus pada proyek atau bisnis ramah lingkungan, yang pada praktiknya menerapkan konsep environmental, social, and governance (ESG) sehingga bisnis bisa tetap berkelanjutan dan mempertahankan dampaknya.

Sayangnya, di Indonesia, penerapan konsep ESG ini masih belum dipahami dan disadari pentingnya, terutama di tingkat usaha mikro, kecil, dan menengah.

Co-Founder Supernova Ecosystem, Inez Stefanie, menjelaskan bahwa penerapan konsep ESG merupakan langkah awal agar sebuah usaha bisa menjalankan praktek bisnis sesuai dengan konsep ekonomi hijau, yakni berkelanjutan.

Baca juga:

3 Tren Desain Interior Rumah di 2023

investasi hijau
Sejumlah bank nasional tercatat telah menyalurkan lebih dari Rp 690 triliun kredit hijau. (Foto: Freepik/Rawpixels)

Kurangnya kesadaran penerapan ESG menghambat pelaku usaha di Indonesia ketika hendak naik tingkat mengembangkan bisnisnya. “Banyak perusahaan yang praktik tata kelolanya kurang solid, akibatnya mereka sulit mendapatkan pendanaan (investasi) dari pihak lain,” jelas Inez dalam keterangan tertulis kepada Merahputih.com.

Penting bagi pelaku usaha untuk mulai menerapkan prinsip tata kelola usaha yang baik demi menjaga keberlangsungan usahanya. “Pada prinsipnya, investor yang masuk ke sektor ekonomi hijau juga harus memahami fundamental bisnis yang mereka pilih sebagai portofolio investasi,” kata Inez.

Sebagai ilustrasi, ketika masuk ke bidang usaha yang berkaitan dengan komoditas perkebunan, investor harus paham prospek komoditas yang ditawarkan. Investor harus tahu bagaimana komoditas itu nantinya dijual, siapa pembelinya, dan bagaimana prospek ke depannya.

Selain itu, investor juga harus mampu membaca kondisi alam yang dapat mempengaruhi hasil produksi usaha yang dipilih. Sebetulnya berinvestasi di sektor ekonomi hijau juga sama dengan berinvestasi di sektor usaha konvensional. Prinsip kehati-hatian dan selektif dalam memilih portofolio mutlak diperlukan.

Investor tetap perlu memperhatikan kredibilitas platform agregator yang menawarkan produk investasi, serta menakar imbal hasil investasi yang ditawarkan, realistis atau tidak. Satu hal lain yang tak kalah penting ialah menyesuaikan profil risiko suatu produk investasi dengan karakteristik setiap investor.

Inez juga menyoroti sektor UMKM yang diperkuat lebih dari 62 juta usaha dengan hampir 99% diantaranya merupakan usaha mikro, membutuhkan dukungan besar agar dapat mendorong pembangunan negara di masa depan.

Investor pun berpotensi besar melirik mereka. “Karena green investment yang berhasil sebenarnya tidak harus seukuran unicorn,” tambah Inez.

Inilah yang mendorong Supernova Ecosystem mendukung perkembangan investasi lestari (impact invesment) dengan fokus pada masalah perubahan iklim. Sektor bisnis yang menjadi area garapan Supernova Ecosystem adalah komoditas lestari.

“Kami membantu pelaku usaha di berbagai wilayah di Indonesia untuk menciptakan pusaran ekonomi baru di wilayah-wilayah yang selama ini bergantung kepada praktik ekonomi eksktraktif (pengelolaan sumber daya alam), misalnya pertambangan dan palm oil,” kata Inez.

Baca juga:

3 Tren Kegiatan Wisata 2023

investasi hijau
Supernova Ecosystem memilikivalue chain collaboration canvas yang memetakan usaha hulu ke hilir. (Foto: Freepik/Alexey Zhilkin)

Ia memberi contoh, selama berdekade masyarakat dalam suatu daerah tersebut bekerja di perkebunan atau pertambangan. Jika pada daerah tersebut terdapat potensi dibangun sentra tanaman untuk komoditas yang tidak merusak hutan, maka Supernova Ecosystem dapat mendukung usaha tersebut.

“Saat ini fokus pada komoditas yang terbukti tahan terhadap situasi pandemi, yaitu kecantikan, kesehatan dan wellness. Kini kami memiliki delapan perusahaan dalam portofolio untuk melakukan bisnis secara B2B dan B2C, dengan berbagai komoditas, seperti ikan gabus dan tengkawang,” ujar Inez.

Seluruh perusahaan dalam portofolio Supernova Ecosystem tentu didorong untuk melakukan praktik ESG. Misalnya, untuk usaha pengolahan ikan gabus yang letaknya di Sintang, biasanya produksinya hanya ikan salai, abon dan lainnya.

Namun dengan kemitraan Supernova Ecosystem, ikan gabus ini dapat diekstraksi menjadi albumin yang dapat menyembuhkan luka lebih cepat, sehingga produknya memiliki harga dan margin yang lebih bagus.

“Kami terus mencari kisah sukses dari berbagai daerah untuk memperlihatkan bahwa ke depan, masyarakat bisa menjalankan usaha dengan praktik-praktik ramah lingkungan dan berkelanjutan, dan bisa mempertahankan keseimbangan ekonomi komoditas lestari dengan komoditas ekstrakftif,” tutup Inez.

Investasi ini tidak merusak lingkungan bahkan berfokus pada pelestarian alam dan lingkungan, serta memberi dampak sosial yang positif. (dgs)

Baca juga:

Kiat Isi Daya Referensi Tren Musik di 2023

#Investasi
Bagikan
Bagikan