BERTEPATAN dengan penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-42, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Wamenparekraf) Angela Tanoesoedibjo berharap kegiatan di Labuan Bajo bisa menjadi momentum yang tepat untuk promosi Wae Rebo ke anggota delegasi.
Desa Wae Rebo menjadi salah satu dari 50 Finalis Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) pada 2021. Desa ini berlokasi di pegunungan terpencil di Kampung Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Manggarai Barat, NTT.
Baca Juga:
Flexing Sekaligus Tingkatkan Kesehatan Mental di Tempat Tropis
“Saya ingin melihat sendiri keindahan Wae Rebo sehingga saya bisa bercerita dan merekomendasikan kepada para wisatawan untuk berkunjung ke sini,” kata Angela dikutip dari Antara.

Desa Wae Rebo didirikan oleh seorang pria bernama Empu Maro. Sekitar 100 tahun lalu, ia membangun desa ini dan dilestarikan oleh penduduk lokal hingga sekarang mencapai keturunan generasi ke-18. Terletak jauh dari perkotaan, kamu butuh sekitar 3-4 jam dengan berjalan kaki dari Desa Dange. Wae Rebo dikelilingi oleh pegunungan yang indah serta Hutan Todo yang rindang dan kaya akan vegetasi.
Surga di atas awan, begitulah sebutan untuk destinasi ini karena memiliki letak di atas ketinggian 1.000 mdpl. Desa Wae Rebo menyimpan daya tarik tujuh rumah adat yang disebut Mbaru Niang yang tinggi dan berbentuk kerucut serta tertutup ilalang lotar dari atap hingga ke tanah.
Baca Juga:
Rumah Mbaru Niang memiliki lima tingkat dan setiap tingkat dirancang untuk tujuan tertentu. Tingkat pertama, yang disebut lutur atau tenda adalah tempat tinggal keluarga besar. Tingkat kedua, yang disebut lobo atau loteng dikhususkan untuk menyimpan makanan dan barang-barang.

Tingkat ketiga yang disebut lentar adalah tempat penyimpanan benih untuk musim tanam berikutnya. Tingkat keempat yang disebut lempa rae adalah untuk menyimpan persediaan makanan jika terjadi kekeringan. Terakhir tingkat kelima dan teratas yang disebut hekang kode, juga yang dianggap paling suci, adalah tempat persembahan untuk leluhur.
Ada salah satu rumah yang dikhususkan untuk keperluan ritual bagi masyarakat di Desa Adat Wae Rebo. Penduduk lokal di desa ini mayoritas beragama Katolik, tetapi masyarakat setempat masih menganut kepercayaan lama. Di rumah tersebut tersimpan pusaka suci berupa gendang dan gong.
Di desa ini, kamu tidak akan mendapatkan jaringan seluler. Bahkan, listrik hanya tersedia dari pukul 6 hingga 10 malam. Selain itu, jangan lupa juga untuk membawa jaket karena udaranya yang relatif dingin. (vca)
Baca Juga:
Tempat Wisata Baru di Jakarta dengan Spot Foto Bernuansa Jepang