Teknologi

Ini Dampak Serangan Ransomware Bagi Organisasi Besar di Asia Pasifik

annehsannehs - Kamis, 10 Februari 2022
Ini Dampak Serangan Ransomware Bagi Organisasi Besar di Asia Pasifik
Serangan ransomware meminta uang tebusan yang besar. (Foto pixabay/mohamed_hassan)

RANSOMWARE mungkin menjadi istilah yang belum banyak diketahui oleh orang awam. Terdengar seperti perangkat lunak komputer biasa, tetapi serangan ransomware sebenarnya sangat merugikan satu pihak. Ransomware sering disebut sebagai perangkat pemeras yang mengincar uang tebusan yang besar.

Dikutip dari Golden Fast, ransomware merupakan perangkat pemeras yakni malware yang menggunakan metode enkripsi untuk menyimpan dan menyembunyikan informasi korban sebagai tahanan.

Serangan ransomware akan menyandera data-data perusahaan dan mengancam untuk mempublikasi, menghapus, atau menahan akses ke data tersebut. Serangan ransomware bisa menjadi malapetaka dan sulit ditangani jika komputer sudah terinfeksi.

Serangan malware ini sangat merugikan. (Foto pixabay/200degrees)
Serangan malware ini sangat merugikan. (Foto pixabay/200degrees)

Menurut survei organisasi pengamanan sistem siber-fisik OT, IoMT, dan IoT yakni Claroty, empat dari lima organisasi di Asia Pasifik sudah pernah mendapatkan serangan ransomware, dan lebih dari setengahnya membayar uang tebusan yang tidak kecil. 71 persen organisasi Asia Pasifik harus membayar tebusan berkisar antara Rp 1 miliar hingga 14 miliar, dan 13 persen lainnya mengeluarkan uang sampai Rp 14 miliar hingga Rp 72 miliar.

Baca juga:

Kotak Pos Pokemon Slowpoke Hadir di Jepang

Survei independen Claroty melakukan studi yang melibatkan 1.100 profesional keamanan Teknologi Informasi (TI) dan Teknologi Operasional (TO) di AS, Eropa, dan Asia Pasifik dan menentukan bagaimana organisasi menghadapi tantangan perangkat pemeras pada 2021.

Survei tersebut menemukan bahwa 90 persen responden Asia Pasifik (90 persen secara global) telah mempercepat transformasi digital sejak awal pandemi, dengan 48 persen (52 persen secara global) melaporkan percepatan tersebut sebagai hal yang signifikan.

CEO Claroty Yaniv Vardi mengatakan bahwa penelitian yang dilakukan Claroty menunjukkan bahwa keamanan infrastruktur kritis berada pada titik yang sangat penting, yang mana ancaman berkembang sangat cepat dan berevolusi. Tetapi ada juga minat dan keinginan kolektif yang tumbuh dalam melindungi sistem paling penting.

Baca juga:

‘Daging Palsu’ Dijual di London, Inggris

"Pemimpin keamanan yang ingin membawa program mereka ke arah yang lebih aman, harus memperhitungkan semua sistem siber-fisik dalam praktik tata kelola risiko, mengelompokkan jaringan aset TI dan OT mereka, memperluas praktik keamanan siber TI umum mereka ke perangkat OT mereka, serta secara konsisten memantau ancaman di semua jaringan," ungkap Vardi.

Claroty mengungkapkan bahwa satu-satunya cara untuk mengurangi risiko terkena ransomware adalah dengan memahami cara membuat hyperconnectivity supaya lebih aman.

Kuatkan hyperconnectivity. (Foto pixabay/methodshop)
Kuatkan hyperconnectivity. (Foto pixabay/methodshop)

Harus ada peningkatan investasi dalam keamanan siber dan penguatan langkah kemanan siber. Untungnya, para organisasi telah menginternalisasi pelajaran dan serangan siber profil tinggi dan memprioritaskan keamanan siber dengan meningkatkan investasi dan menerapkan proses serta kontrol baru atau yang diperbarui.

Lebih dari separuh responden (90 persen) mengatakan jajaran C-Level dan dewan direksi organisasi mereka sangat terlibat dalam pengambilan keputusan dan pengawasan keamanan siber, yang menjadi pertanda baik bagi investasi dan prioritas berkelanjutan. (shn)

Baca juga:

Self-Quarantine Bagai LDR, Lakukan 4 Cara Pacaran Ala Pandemi Corona!

#Teknologi
Bagikan
Ditulis Oleh

annehs

Bagikan