Impor Beras Miskinkan Petani

Andika PratamaAndika Pratama - Minggu, 21 Januari 2018
Impor Beras Miskinkan Petani
Pekerja mengangkut karung berisi beras di Gudang Bulog Divre I di Jalan Jemadi Medan, Sumatera Utara, Jumat (5/1). (ANTARA FOTO/Septianda Perdana)

MerahPutih.com - Bupati Kabupaten Aceh Barat Daya, Akmal Ibrahim menilai, kebijakan impor beras yang diwacanakan pemerintah pada awal Januari 2018 ini bertentangan dengan program pengentasan kemiskinan.

"Program ini saya lihat bertentangan dengan program pemerintah lainnya, terutama dalam mengentaskan kemiskinan. Jadi, kalau begini, maka orang yang paling banyak miskin itu petani," ungkapnya di Blangpidie, Sabtu (20/1).

Bupati Akmal menyampaikan pernyataan tersebut ketika wartawan meminta tanggapannya terkait wacana impor beras, usai menghadiri acara pertemuan konsultasi masyarakat terkait pembangunan saluran irigasi sayap kanan Krueng Susoh untuk lahan sawah seluas 4.500 hektare di daerah itu.

"Saya tidak bisa mencampuri kebijakan pusat, paling hanya menyarankan, tapi kebijakan yang diterapkan sekarang membuat saya sedih karena ketidakadilan. Buktinya, produk petani diawasi, harganya ditentukan. Sementara, pemerintah tidak menghitung biaya produksi dikeluarkan petani," tuturnya lagi.

Ia menuturkan, biaya produksi yang dikeluarkan para petani sawah di pedesaan saat ini cukup tinggi, terutama untuk pembelian pupuk non subsidi, sebab pupuk yang telah disubsidikan pemerintah susah didapatkan.

"Biaya produksi petani naik sekarang, lantaran pupuk subsisdi susah didapatkan. Mereka terpaksa beli pupuk non subsidi dengan harga mahal untuk kebutuhan tanaman padi mereka saat musim tanam," ungkapnya seperti dilansir Antara.

Akmal mengaku, pada musim tanam padi rendengan awal tahun ini, pihaknya memberikan subsidi biaya pengolahan tanah pada petani, sebagai upaya pemerintah daerah untuk menekan biaya produksi yang dikeluarkan.

"Tahun ini saya memberikan subsidi biaya pengolaan tanah, karena pupuk makin payah. Jadi, saya berharap ada kebijakan baru pemerintah soal pendistribusian dan pengawasan pupuk bersubsidi ini," ujarnya.

Ia menyarankan, sistem pendistribusian pupuk bersubsisdi untuk masyarakat petani ke depan sebaiknya dikelola oleh pemerintah daerah masing-masing, supaya petani di pedesaan tidak mengalami kesulitan saat membutuhkan.

"Ke depan kalau perlu, pupuk subsidi untuk daerah saya, saya minta beli semua, biar pemerintah kabupaten yang menyalurkan pada petani, karena sekarang ini ngak jelas," katanya.

Sejumlah petani di Kabupaten Abdya ketika dikonfirmasi mengaku resah akibat terjadinya kelangkaan pupuk bersubsidi jenis phonska 15-15 pada musim tanam rendengan 2017-2018.

Ketua kelompok tani Pusu Cut, Desa Ie Lhob, Kecamatan Tangan-Tangan, Arjuna, mengaku para petani sawah yang tergabung dalam kelompoknya selama ini sangat kesulitan untuk mendapatkan pupuk bersubsisdi, jika pun ada tentu harganya sangat mahal.

"Pupuk bersubsidi jenis phonska 15-15 itu ada dijual di kios-kios pengencer, tapi harganya melambung di atas harga eceran tertinggi (HET), yakni mencapai Rp180 ribu hingga Rp200 ribu/sak," ungkapnya.

Kelangkaan pupuk bersubsidi jenis phonska tersebut juga dirasakan oleh Basri petani lainnya. Ia mengaku sejak benih padi ditanam pupuk bersubsidi jenis phonska mulai langka didapatkan.

"Saya beli pupuk bersubsidi jenis phonska tadi Rp200 ribu/sak. Berhubung pupuk itu sangat saya butuhkan untuk tanaman padi, makanya saya beli terus," ujar dia.

Kedua petani itu mengaku sangat mendukung jika sistim pendistribusian pupuk bersubsisdi ke depan dilakukan langsung oleh pemerintah daerah, supaya para petani bisa membelinya dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah.

Bagikan
Ditulis Oleh

Andika Pratama

Bagikan