Imparsial: Pelibatan Militer dalam Penanggulangan Teroris Seharusnya Pilihan Terakhir

Noer ArdiansjahNoer Ardiansjah - Selasa, 30 Mei 2017
Imparsial: Pelibatan Militer dalam Penanggulangan Teroris Seharusnya Pilihan Terakhir
Pasukan TNI. (MP/Venan Fortunatus)

Direktur Imparsial, Al Araf mengatakan bahwa Presiden Jokowi tidak perlu lagi memasukkan peran TNI dalam RUU Terorisme karena hal tersebut sudah diatur dalam UU TNI.

"Pelibatan militer dalam mengatasi terorisme sesungguhnya sudah diatur secara tegas dalam pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 UU TNI no 34/2004. Mengacu pada pasal itu sebenarnya presiden sudah memiliki otoritas dan landasan hukum yang jelas untuk dapat melibatkan militer dalam mengatasi terorisme sepanjang ada keputusan politik negara," kata Al Araf dalam keterangan tertulis, Selasa (30/5).

Al Araf juga mengatakan bahwa pelibatan militer dalam mengatasi terorisme bisa dilakukan tanpa harus diatur dalam revisi UU anti-terorisme.

"Dalam praktiknya selama ini pun, militer juga sudah terlibat dalam mengatasi terorisme sebagaimana terjadi dalam operasi perbantuan di Poso," katanya.

Perbantuan militer, ucap Al Araf, dalam mengatasi terorisme tersebut merupakan bentuk tugas perbantuan untuk menghadapi ancaman terorisme yang secara nyata mengancam kedaulatan dan keutuhan teritorial negara.

"Di sini pelibatan militer seharusnya menjadi last resort (pilihan terakhir) yang dapat digunakan presiden jika seluruh komponen pemerintah lainnya sudah tidak lagi dapat mengatasi aksi terorisme," ucapnya.

Pelibatan militer dalam revisi UU Terorisme tanpa melalui keputusan politik negara, akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan kewenangan antara aktor pertahanan dan keamanan, mengancam kehidupan demokrasi dan HAM, melanggar prinsip supremasi sipil, dan dapat menarik militer kembali dalam ranah penegakan hukum, sehingga dapat merusak mekanisme criminal justice system.

Al Araf menambahkan, permasalahan lain terkait pengaturan keterlibatan TNI dalam UU Terorisme adalah minimnya mekanisme hukum yang akuntabel untuk menguji (hebeas corpus), terhadap setiap upaya paksa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan lainnya yang dilakukan oleh aparat TNI untuk menjamin terpenuhinya hak asasi manusia.

Terlebih, anggota TNI juga belum tunduk pada peradilan umum bila terjadi kesalahan dalam penanganan teroris dan hanya diadili melalui peradilan militer yang diragukan independensinya untuk menyelenggarakan peradilan yang adil.

"Pendekatan criminal justice system model yang selama ini telah digunakan dalam penanganan terorisme di Indonesia sejatinya sudah tepat dan benar, meski memiliki beberapa catatan terkait hak asasi manusia," katanya.

"Kami meminta kepada Presiden dan DPR agar revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tetap dalam sistem negara demokrasi, penghormatan pada negara hukum dan ham serta menggunakan model mekanisme criminal justice system," Al Araf menambahkan.

#UU Terorisme #RUU Terorisme #TNI
Bagikan
Ditulis Oleh

Noer Ardiansjah

Tukang sulap.
Bagikan