MerahPutih.com - Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin mengusulkan penghapusan pemilihan gubernur yang dilanjutkan dengan penghapusan jabatan gubernur.
Alasannya, pilgub dan jabatan gubernur tidak efektif dan tidak langsung bersentuhan dengan rakyat.
Peneliti senior Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Rahmat Saputra menilai, gagasan Cak Imin untuk menghapus pemilihan gubernur dan jabatan gubernur merupakan gagasan yang ahistoris.
Baca Juga:
3 Provinsi dengan Tingkat Permohonan Dispensasi Nikah Tertinggi di Indonesia
"Menghapus pemerintah provinsi jelas gagasan yang ahistoris, mengabaikan sejarah panjang otonomi daerah. Gagasan ini juga keluar dari konstitusi,” kata Rahmat di Jakarta, Senin (6/2).
Pengajar Hukum Otonomi Daerah di Universitas Bhayangkara Jakarta Raya ini menyebutkan, gagasan penghapusan jabatan gubernur atau pemerintah provinsi secara nyata bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1-4) UUD 1945.
Menurut dia, konsekuensi dari penghapusan jabatan gubernur atau pemerintah provinsi yaitu mengubah UUD 1945.
"Ongkos dan turbulensi menghapus jabatan gubernur atau pemerintah provinsi tidak kecil. Ini yang harus dibaca Cak Imin,” ujarnya.
Dia menilai, logika yang dibangun Cak Imin tampak tercerabut dari akar sejarah keberadaan otonomi daerah di Indonesia. Dalam rentang sejarah perjalanan otonomi daerah, dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perubahan mengikuti kebutuhan zaman.
"Desain otonomi daerah ditempatkan dalam konsep negara kesatuan yang memiliki keragaman budaya, geografis, dan kompleksitas masalah yang berbeda-beda,” imbuhnya.
Baca Juga:
Pembentukan Markas Polisi Provinsi Baru Kesempatan untuk Pemuda Asli Papua
Rahmat tidak menampik sejumlah persoalan yang disampaikan Cak Imin muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah khususnya di pemerintah provinsi. Hanya saja, kata Rahmat, solusi atas persoalan yang muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah bukan dengan cara menghapus pemerintah provinsi.
"Pelaksanaan otonomi daerah memang tidak berjalan optimal. Tapi bukan berarti solusinya pemerintah provinsi dihapus,” sebut Rahmat.
Rahmat menguraikan sejumlah masalah yang ditemui dalam pelaksanaan pemerintahan provinsi yakni ketidakmampuan untuk menjembatani antara kebijakan pemerintah pusat yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan dengan realitas masyarakat di daerah.
“Gubernur seringkali gagal meredam gejolak maupun konflik di daerah masing-masing,” urai Rahmat.
Masalah lainnya, Rahmat menguraikan, pengelolaan aset antar kabupaten/kota hasil pemikiran daerah otonomi baru (DOB) dengan daerah induknya, pengisian pejabat struktural yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi yang kerap bermasalah mulai soal penyelundupan hukum serta mengangkat atau mencopot personel dengan pertimbangan politis.
“Masalah-masalah tersebut harus dilakukan pengawasan dan pembinaan oleh pemerintah pusat. Peran legislatif daerah juga harus dioptimalkan. Ujung-ujungnya partai politik di daerah harus bekerja,” ujarnya.
Sedangkan gagasan penghapusan pilgub langsung, Rahmat menyebutkan hal tersebut juga bertentangan dengan konstitusi bila dimaknai dengan penunjukan gubernur oleh presiden.
"Kalau penghapusan pilgub dimaknai dengan penunjukan gubernur oleh presiden ini bertentangan dengan konstitusi dan spirit reformasi. Kecuali, pilkada langsung digantikan dengan pemilihan melalui DPRD, ini masih bisa didialogkan karena sama-sama prinsip demokratis,” tandas Rahmat. (Pon)
Baca Juga:
Kemenkes Dorong RSUD Provinsi Mampu Lakukan Bedah Jantung Terbuka