ICW Pertanyakan KPK Limpahkan Perkara OTT Rektor UNJ ke Kepolisian

Eddy FloEddy Flo - Sabtu, 23 Mei 2020
 ICW Pertanyakan KPK Limpahkan Perkara OTT Rektor UNJ ke Kepolisian
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana (Foto: antaranews)

MerahPutih.Com - Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melimpahkan kasus operasi tangkap tangan (OTT) Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ke Kepolisian.

KPK beralasan melimpahkan kasus ini ke Kepolisian karena tidak menemukan unsur penyelenggara negara yang menjadi kewenangannya. Padahal, KPK sempat menangkap Kabag Kepegawaian UNJ Dwi Achmad Noor dalam OTT tersebut.

Baca Juga:

Advokat Kosasih Teken Penyitaan Dokumen Aset Buron KPK Nurhadi

Dwi Achmad atas perintah Rektor UNJ Komarudin diduga telah menyerahkan uang Tunjangan Hari Raya (THR) kepada sejumlah pejabat Kemendikbud. Dalam OTT itu, lembaga antirasuah juga sempat menyita barang bukti berupa uang sebesar USD 1.200 dan Rp 27.500.000.

ICW heran KPK limpahkan kasus OTT Rektor UNJ ke kepolisian
Koordinator Koalisi Masyarakat Antikorupsi Kurnia Ramadhana. Foto: ANTARA

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan, dalam siaran pers yang dibuat oleh Deputi Penindakan KPK, Karyoto, dengan sangat mudah masyarakat dapat menemukan poin kejanggalannya. Misalnya, dalam siaran pers tersebut dikatakan bahwa belum ditemukan unsur pelaku yang berasal dari penyelenggara negara.

"Hal ini cukup mengundang tanda tanya bagi masyarakat, sebab sedari awal dalam siaran pers tersebut telah menyebutkan bahwa Rektor UNJ mempunyai inisiatif melalui Kepala Bagian Kepegawaian UNJ untuk mengumpulkan uang THR kepada Dekan Fakultas dan lembaga di UNJ agar nantinya bisa diserahkan ke pegawai Kemendikbud," kata Kurnia dalam keterangan tertulisnya, Jumat (22/5).

Menurut Kurnia, kasus ini sebenarnya dapat ditangani KPK dan tidak perlu dilimpahkan ke Kepolisian. Setidaknya terdapat dua dugaan tindak pidana korupsi yang dapat digunakan oleh KPK dalam mengusut kasus ini. Pertama, dugaan tindak pidana pemerasan atau pungutan liar yang dilakukan oleh Rektor UNJ.

Ia menegaskan, jabatan Rektor merupakan penyelenggara negara sebagaimana Pasal 2 angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 yang menjelaskan bahwa Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Sementara Pasal 11 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, KPK berwenang menangani perkara korupsi yang melibatkan penyelenggara negara.

Apalagi, Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 secara tegas mengatakan penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan orang lain secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu atau membayar dapat dijerat dengan maksimal hukuman 20 tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar.

"Kasus dengan model pemerasan seperti ini bukan kali pertama ditangani oleh KPK. Pada tahun 2013 yang lalu lembaga anti rasuah ini pun pernah menjerat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kantor Wilayah Dirjen Pajak, Pargono Riyadi. Saat itu ia diduga melakukan pemerasan terhadap wajib pajak, Asep Hendro, sebesar Rp 125 juta," tegasnya.

Selain delik pemerasan, Kurnia mengatakan, KPK juga dapat memproses kasus ini atas dugaan tindak pidana suap yang dilakukan oleh Rektor UNJ kepada pejabat Kemendikbud. Dugaan suap ini akan semakin terang ketika KPK dapat membongkar latar belakang pemberian uang kepada pejabat dan pegawai Kemdikbud, apakah hanya sekadar pemberian THR atau lebih dari itu.

Kurnia mengingatkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 berbunyi, "Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri dengan maksud supaya pegawai negeri tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dapat dihukum maksimal 5 tahun penjara." Untuk itu, lantaran dalam kasus ini pemberi suap diduga adalah Rektor yang merupakan penyelenggara negara, KPK sudah tentu dapat mengusut lebih lanjut perkara ini.

"Atas dasar argumentasi itu, lalu apa yang mendasari KPK memilih untuk tidak menangani perkara tersebut?," tegasnya.

Kurnia menilai sebuah perkara tidak cukup hanya dengan melihat jumlah uang sebagai barang bukti yang diamankan. Meski dalam OTT pejabat UNJ, secara nilai jumlah itu tergolong kecil, hanya sebesar Rp 55 juta, namun tak tertutup kemungkinan kasus ini melibatkan uang yang lebih besar jika didalami secara serius oleh KPK.

Pada rezim kepemimpinan KPK sebelumnya kerap ditemukan kasus-kasus yang ketika dilakukan tangkap tangan jumlah uangnya sedikit. Akan tetapi setelah didalami ternyata aliran dana yang mengalir pada oknum tertentu tergolong cukup besar. Misalnya saja pada kasus yang melibatkan mantan Ketua PPP, Romahurmuziy.

"Pertanyaan lebih mendalamnya yang harus digali oleh penegak hukum adalah apakah pemberian ini merupakan kali pertama, atau sebelumnya pernah juga dilakukan?," katanya.

Baca Juga:

Ini Kesaksian Dokter Bedah yang Operasi Novel Baswedan Pasca Disiram Air Keras

Dalam kesempatan ini, ICW, kata Kurnia meminta KPK fokus menangani perkara-perkara korupsi dengan nilai kerugian negara besar, seperti kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas terhadap Obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun, kasus bailout Bank Century dengan kerugian negara Rp 7,4 triliun, dan pengadaan KTP-Elektronik yang menelan kerugian negara sebesar Rp 2,3 triliun.

"Penting untuk diingat bahwa gaji Pimpinan KPK saat ini tergolong sangat besar yakni lebih dari Rp 100 juta. Maka dari itu, tenaga mereka lebih baik dialokasikan untuk menangani kasus-kasus besar, dibanding hanya memproduksi rangkaian kontroversi," pungkasnya.(Pon)

Baca Juga:

Haris Azhar: KPK Takut Tangkap Nurhadi karena Dapat Perlindungan Golden Premium

#ICW #Operasi Tangkap Tangan #Komisi Pemberantasan Korupsi #KPK
Bagikan
Ditulis Oleh

Ponco Sulaksono

Bagikan