MerahPutih.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mendalami pengakuan para saksi dalam perkara dugaan suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) yang menjerat Pinangki Sirna Malasari.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan, hal ini penting dilakukan untuk melihat potensi keterlibatan pihak lain. Misalnya, atasan Pinangki di Kejaksaan Agung, pentinggi Polri dan mantan pejabat di MA.
"KPK dapat memulai dengan pengakuan dari saksi Rahmat yang menyebutkan bahwa Pinangki sempat mengatakan bahwa atasannya sudah mengkondisikan perkara ini," kata Kurnia dalam keterangannya, Selasa (10/11).
Baca Juga
ICW beranggapan, KPK harus segera bertindak dengan menerbitkan surat perintah penyelidikan terhadap perkara ini. Sebab, ICW meyakini masih banyak peran dari pihak-pihak lain yang belum terungkap secara terang benderang.
"Pertanyaan lanjutannya: Siapa atasan yang dimaksud? Apakah atasan dari institusi tempat di mana Pinangki selama ini bekerja?," sambung Kurnia.
Sebelumnya, Komisi Kejaksaan (Komjak) juga meminta KPK dilibatkan dalam mengusut skandal Djoko Tjandra. Keterlibatan KPK dinilai penting untuk menghadirkan kepercayaan publik, karena kasus Djoko Tjandra melibatkan oknum Kejaksaan Agung dan Polri.
"Fungsi koordinasi dan supervisi hal yang menjadi keyakinan publik ada wilayah yang menumbuhkan kepercayaan lagi," kata Ketua Komjak Barita Simanjuntak saat dikonfirmasi, Senin (9/11).
Skandal Djoko Tjandra di Kejagung melibatkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Sementara di Polri, skandal Djoko Tjandra melibatkan dua jenderal yakni Brigjen Prasetijo Utomo dan Irjen Napoleon Bonaparte.
Barita menekankan, pelibatan KPK perlu dilakukan untuk memastikan kasus yang melibatkan aparat penegak hukum berjalan secara independen. Terlebih, Komjak tidak memiliki fungsi untuk melakukan penyelidikan maupun penyidikan, tapi hanya bisa memberikan rekomendasi.
"Terlibatnya KPK menyambut baik itu, bukan hanya di Pinangki dan AIJ (Andi Irfan Jaya) KPK bisa jeli, sangat diperlukan untuk meyakini publik," tegas Barita.
Kasus yang menyeret Jaksa Pinang terkait pengurusan fatwa Djoko Tjandra telah naik ke persidangan. Pinangki didakwa menerima uang senilai USD 500 ribu dari Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa di Mahkamah Agung. Hal ini dilakukan agar Djoko Tjandra bisa lepas dari eksekusi pidana penjara kasus hak tagih Bank Bali.
Bahkan dalam action plan Pinangki untuk Djoko Tjandra, tertulis nama Jaksa Agung ST Burhanuddin dan mantan Ketua MA Hatta Ali.
Pinangki didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 jo. Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, Pinangki juga didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Baca Juga
Sidang Pinangki, Djoko Tjandra Tutup Rapat Sosok Petinggi Kejagung dan MA
Untuk pemufakatan jahat, Pinangki didakwa melanggar Pasal 15 Jo Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jo. Pasal 88 KUHP. (Pon)