ICW Desak Pemerintah dan DPR Setop Pembahasan RUU Pemasyarakatan

Angga Yudha PratamaAngga Yudha Pratama - Senin, 18 Mei 2020
ICW Desak Pemerintah dan DPR Setop Pembahasan RUU Pemasyarakatan
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana (Foto: antaranews)

MerahPutih.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan Rancangan Undang-undang Pemasyarakatan (RUU Pas). Selain momentun yang tidak pas karena Indonesia masih menghadapi pandemi COVID-19, secara substansi RUU Pas pun menimbulkan berbagai persoalan serius, terutama terkait upaya pemberantasan korupsi.

Bahkan, kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, terdapat sejumlah pasal dalam RUU tersebut yang membahagiakan koruptor.

"Melihat ketentuan yang tertuang dalam RUU-Pas ini rasanya kejahatan korupsi hanya dipandang sebagai tindak kriminal biasa saja oleh DPR dan juga pemerintah," kata Kurnia dalam keterangannya, Senin (18/5).

Baca Juga:

Menteri Yasonna Berkelit Dituduh Mau Loloskan Koruptor dari Penjara

Padahal, kejahatan korupsi diakui secara internasional sebagai extraordinary crime, white collar crime, dan transnational crime yang berimplikasi mewajibkan setiap negara menerapkan aturan-aturan yang khusus bagi pelaku kejahatan finansial ini. Mulai dari hukum acara, materiil, bahkan sampai perlakuan terhadap terpidana korupsi di lembaga pemasyarakatan (Lapas).

Kurnia mengungkapkan sejumlah poin dalam RUU-Pas yang perlu dikritisi. Di antaranya RUU-Pas tidak secara jelas memaknai konsep pemberian hak kegiatan rekreasional pada tahanan maupun narapidana yang tercantum dalam Pasal 7 huruf c dan Pasal 9 huruf c. Merujuk pernyataan Muslim Ayub, anggota Komisi III Fraksi PAN DPR, pengertian hak kegiatan rekreasional itu nantinya para tahanan atau pun narapidana berhak berplesiran ke pusat perbelanjaan.

Kurnia menegaskan, alur logika demikian tidak dapat dibenarkan karena bagaimana mungkin seseorang yang sedang berada dalam tahanan ataupun pelaku kejahatan yang sudah terbukti bersalah dibenarkan melakukan kunjungan ke tempat-tempat hiburan.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana. Foto: ANTARA

Berdasarkan data yang dihimpun ICW setidaknya terdapat tujuh terpidana yang diduga melakukan plesiran saat menjalani masa hukuman di Lapas, seperti mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq; Anggoro Widjojo; mantan Wali Kota Palembang Romi Herton dan istrinya Masyito, mantan Wali Kota Bogor, Rachmat Yasin; mantan Bendum Partai Demokrat Nazaruddin; hingga mantan Ketua DPR Setya Novanto.

"Penting untuk dicatat, data-data dugaan plesiran ini untuk membantah logika frasa 'hak kegiatan rekreasional' sebagaimana dicantumkan dalam RUU-Pas. Sederhananya, dengan RUU-Pas diprediksi akan semakin marak narapidana-narapidana yang akan melakukan plesiran disaat menjalani masa hukuman," tegas dia.

Selain itu, ICW juga mengkritisi tidak adanya syarat khusus bagi narapidana korupsi mendapatkan remisi, cuti menjelang bebas maupun pembebasan bersyarat. Merujuk Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) praktis persyaratan narapidana kasus korupsi untuk kemudian mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat hanya berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, telah menunjukkan penurunan tingkat risiko, dan untuk bagian cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat mencantumkan ketentuan kewajiban telah menjalani dua per tiga dari masa pidana.

"Ini menandakan pola pikir pembentuk UU ingin menyamaratakan perlakuan narapidana korupsi dengan narapidana tindak pidana umum lainnya," imbuhnya.

Baca Juga:

KPK Singgung Menteri Yasonna Jadikan Pandemi COVID-19 Alasan Bebaskan Koruptor

Apalagi, RUU-Pas menghapus ketentuan PP 99/2012 yang memperketat syarat remisi bagi koruptor dan narapidana kejahatan luar biasa lainnya. Kurnia menyatakan dengan dihapusnya ketentuan PP 99/2012 dan mengembalikan PP Nomor 32 Tahun 1999 menunjukkan kemunduran pola pikir dari pembentuk UU. Hal ini lantaran PP 99/2012 merupakan regulasi yang progresif untuk menggambarkan konteks kejahatan korupsi sebagai extraordinary crime.

"Sebab, dalam PP 99/2012 terdapat beberapa syarat khusus bagi narapidana korupsi untuk bisa mendapatkan remisi, asimiliasi maupun pembebasan bersyarat. Mulai dari harus menjadi justice collaborator dan membayar lunas denda dan uang pengganti untuk mendapatkan remisi dan mewajibkan Direktur Jenderal Pemasyarakatan meminta rekomendasi dari penegak hukum sebelum memberikan asimilasi atau pembebasan bersyarat. Pengetatan model seperti ini tidak terakomodir dalam PP/32/1999," bebernya. (Pon)

#DPR #ICW
Bagikan
Ditulis Oleh

Ponco Sulaksono

Bagikan