ICJR: Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP Mirip Zaman Kolonial

Andika PratamaAndika Pratama - Jumat, 30 Agustus 2019
ICJR: Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP Mirip Zaman Kolonial
Direktur Eksekutif ICJR Anggara (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/awy)

MerahPutih.com - Institute For Criminal Justice (ICJR) menilai, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) justru masih memuat aturan-aturan yang dapat membawa Indonesia kembali pada masa kolonialisme atau bahkan lebih buruk dari masa kolonialisme.

Ketua ICJR Anggara menyebut salah satunya hidupnya kembali pasal sejenis tindak pidana penghinaan presiden. Pada draft versi 28 Agustus 2019, pasal yang sebelumnya dikenal dengan nama tindak pidana “penghinaan presiden” berganti terminologi menjadi “Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden” dalam Pasal 218-220 RKUHP.

Baca Juga

Ajakan Golput Diancam UU ITE, ICJR: Wiranto Bikin Takut Masyarakat

Pemerintah dan DPR terus bersikeras untuk mengatur tindak pidana ini, dengan berkali-kali menyatakan “kita saja mengkriminalisasi penghinaan kepala negara sahabat, maka presiden negera sendiri harus dilindungi.”

"Hal ini jelas merupakan kemunduran bagi demokrasi di Indonesia, dan Perumus RKUHP belum sepenuhnya paham konsep reformasi hukum pidana di Indonesia," kata Anggara dalam keterangannya, Jumat (30/8).

Anggara melanjutkan, Pasal 134 dan 137 ayat (1) KUHP tentang penghinaan presiden adalah warisan kolonial Belanda, yang pada awalnya digunakan untuk memproteksi martabat dari raja atau ratu di Belanda. Dengan menggunakan asas konkordasi atau penggunaan hukum belanda (KUHP Belanda) di Negara koloninya, Belanda menggunakan pasal tersebut untuk memproteksi aparatus dan kebijakan kolonial Belanda di Indonesia.

Ilustrasi pasal penghinaan presiden. Foto: Net

Pasca Indonesia merdeka, melalui UU No 1 Tahun 1946, pemerintah Indonesia mengganti Pasal penghinaan Raja atau Ratu Belanda dengan Presiden atau Wakil presiden Indonesia.

Baca Juga

Sentimen Anti Kolonial Jadi Pemicu Utama Problem Kodifikasi RKUHP

"Hal ini lah yang secara historis sedari awal tidak sepadan, Raja atau Ratu adalah kepala Negara bukan kepala pemerintahan. Sedangkan Presiden dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia adalah kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia, terhadapnya harus bisa dikritik oleh setiap warga Negara, sehingga tidak dapat dipisahkan perannya sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan;" terang Anggara.

Anggara menambahkan, pasal Penghinaan Presiden tidak relevan untuk negara demokratis. Mahkamah Konstitusi dalam putusan 013-022/PUU-IV/2006 dengan tegas telah menyatakan bahwa: Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945.

"Sehingga MK menyatakan sudah tidak relevan jika dalam KUHP Indonesia masih memuat Pasal Penghinaan Presiden yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum," jelas dia.

Baca Juga

Bentuk Tim Hukum, Bukti Pemerintah tak Pede

Anggara berkeyakinan, Pemerintah dan DPR tidak pernah punya alasan kuat harus menghidupkan pasal penghinaan presiden. Pemerintah dan DPR selalu bersikeras mengatur penghinaan presiden dengan dalih kepala negara sahabat dilindungi dengan adanya larangan penghinaan kepala negara sahabat.

"Hal tersebut jelas bukan hal yang relevan dan cenderung mengada-ada untuk menjadikan dasar perumusan pasal penghinaan presiden dalam RKUHP. Jika tujuan demikian, maka yang harus dipastikan adalah Presiden Indonesia terlindungi di negara sahabat, bukan malah berusaha memenjarakan pengkritik presiden di negara sendiri," tutup dia. (Knu)

#Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) #Pasal Penghinaan Presiden
Bagikan
Ditulis Oleh

Andika Pratama

Bagikan