'KRIIIIIING... Kriiiiing... Kriiiing...'. Suara alarm ponsel membangunkan saya pagi itu, Senin (12/7). Dengan lemas, saya lihat layar ponsel. Pukul 06.00. Sejenak saya terdiam. "Ada apa yang spesial ya hari ini?" batin saya. Selama 15 menit saya berpikir. Mengembalikan kesadaran. Ketika sudah teringat, saya langsung lompat dari tempat tidur.
Ini hari pertama sekolah tahun ajaran 2021/2022.
Secepat kilat, saya membangunkan dua anak saya, menyiapkan sarapan, lalu mengecek grup Whatsapp sekolahan. Tangan kanan saya menggoreng telur, sedangkan yang kiri sibuk mengisi daftar presensi, scrolling obrolan di grup WA sekolahan. Setelah beres urusan sarapan, saya harus menyiapkan Zoom untuk dua anak.
BACA JUGA:
Guru Jangan Sampai Lengah Tipu Daya Siswa Saat Belajar Daring
Huru-hara dimulai. Dua anak saya berebut tempat Zoom meeting. Kebiasaan bocah. Mungikin biar seru dan berisik. Gara-gara mereka berisik, dua adik mereka terbangun. Menambah keriuhan. Dengan tambahan satu balita dan satu batita 18 bulan di gendongan, saya harus sigap. Multitasking bila perlu.
Padahal nih, sebagai ibu empat anak, saya tak boleh membuang banyak waktu di pagi hari. Terlebih di hari sekolah. Semua harus dilakukan dengan cepat dan efisien. Pukul 07.30, setelah kericuhan rebutan meja, sekolah daring dimulai. Saya bisa melepas mereka 'sekolah' sejenak.
Dua anak saya ialah siswa sekolahan. Anak sulung saya memulai kelas 7 di tahun ajaran ini, sedangkan si nomor dua masuk kelas 3 sekolah dasar. Tak boleh lagi main-main dan santai. Meski demikian, kenyataan harus kembali belajar daring dari rumah membuat saya masygul.
Sejak COVID-19 masuk ke Tanah Air pada Maret 2020, anak sekolahan memang belajar dari rumah. Istilahnya banyak. Ada yang menyebut belajar dari rumah (BDR), pembelajaran jarak jauh (PJJ), hingga sekolah online. Di masa awal belajar daring ini, saya mengalami bagaimana para guru dan siswa berusaha keras menyesuaikan diri. Menjelaskan materi lewat Whatsapp, Zoom, atau video call bukan perkara mudah loh.
Bayangkan saja saat guru matematika harus menjelaskan garis bilangan kepada siswa lewat Zoom. Si guru membagikan gambar, menjelaskan berkali-kali, sedangkan para siswa mencoba meresapi, memahami, di tengah kebingungan. Itu belum lagi kalau internetnya lelet. Penjelasan guru bisa terpotong, bahkan tak terdengar sama sekali.
Begitulah yang terjadi ketika si sulung menjalani masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) secara daring. "Bunda, kasian Pak Gurunya. Masak share gambar terus malah dicoret-coret sama anak-anak," lapor sulung saya. Selepas itu, ia bercerita betapa membosankan MPLS digelar daring. Masak cuma bisa kenal sekolah lewat foto, kenalan ama teman-teman juga cuma lewat foto di Zoom. "Gimana bisa jadi bestie?" protesnya.
Tak beda jauh, anak kedua saya juga mengeluh. "Aku mulai kangen dengan teman-teman. Pas Zoom tadi, masak ada yang jadi gendut lo, Bun. Sampai lupa aku sama muka dia," curhatnya.
Duh, saya urun simpati dengan mereka. Kesulitan yang mereka rasakan juga saya alami. Dalam level dan cara yang berbeda tentunya. Jika anak-anak kesulitan menerima plajaran, kewalahan dengan sistem belajar daring, hingga jenuh tak bisa bertemu teman, saya seperti mengalami ledakan tugas.
Bagaimana tidak, saya ibu bekerja--meskipun WFH--dengan dua anak sekolah plus dua balita, tapi tanpa asisten rumah tangga. Ketika awal sekolah daring dimulai, saya amat kewalahan. Dua anak ini susah diajak disiplin 'sekolah'. Bagi mereka, belajar di rumah setara dengan libur. Terlebih ketika orangtua yang mendampingi tak bisa 100 persen mengawasi saat mereka belajar. Seperti saya.

Dalam sehari, saya harus membagi waktu antar pekerjaan rumah, pekerjaan kantor, dan kini ditambah menjadi guru di rumah. Semuanya harus dikerjakan di waktu yang sama. Tak ada solusi lain selain melakukan multitasking. Sudah biasa lah, saya memasak sambil membantu anak mengerjakan tugas atau menjelaskan materi sambil menyusui si adik. Lain waktu, saya harus ikut membuat prakarya hingga larut.
Cara kerja multitasking seperti itu sungguh melelahkan. Multitasking memang tak baik bagi tubuh. Menurut psikolog klinis Pritta Tyas Mangestuti, mereka khususnya para ibu yang memiliki kebiasaan multitasking bisa sangat menghabiskan energi sehingga bisa mengakibatkan kelelahan. "Multitasking ini sangat menghabiskan energi, membuat kelelahan bahkan bisa menurunkan IQ kalau terlalu sering multitasking," ujar Pritta, dikutip ANTARA. Padahal, saya setiap hari bekerja secara multitasking.
Seperti dikabarkan Time, sebuah studi menunjukkan bahwa hanya 2,5 persen orang yang bisa melakukan multitasking secara efektif. Sisanya, melakukan dua aktivitas secara bersamaan hanyalah sebuah ilusi atau omong kosong. Selain itu, melakukan multitasking memberi efek buruk bagi tubuh, mulai dari masalah fokus, ingatan, membuat kurang produktif, hingga rentang menimbulkan stres dan depresi.
Masalah-masalah itu sepertinya mulai dirasakan para ibu yang menemani anak-anak belajar daring sambil berusaha tetap menyelesaikan pekerjaan rumah. "Kita nih, para emak, kayaknya bakal lebih dulu kena stres berat ketimbang kena COVID-19," ujar salah seorang orangtua murid yang saya temui. Ada benar juga sih.
Sekolah daring berlanjut

Karena itulah, tak mengherankan jika para emak serasa dapat angin segar ketika Presiden Jokowi menyatakan sekolah tatap muka bisa mulai dilakukan mulai Juli 2021. Pernyataan yang dikeluarkan pada April itu kini menguap.
Lonjakan kasus COVID-19 di Tanah Air membuat sekolah tatap muka urung digelar. Di Kota Tangerang, jauh sebelum rencana sekolah tatap muka, para orangtua dimintai persetujuan terlebih dahulu. "Sebanyak 78% orangtua siswa tidak setuju sekolah tatap muka digelar," kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Tangerang Jamaluddin pada acara silaturahim dengan orangtua murid yang digelar secara daring Minggu (11/7).
Ia menyebut alasan keamanan dari segi kesehatan menjadi perhatian utama orangtua murid. Oleh karena itu, dengan menimbang situasi yang ada saat ini, sekolah daring di Kota Tangerang akan berlanjut di tahun ajaran 2021/2022. Untuk itu, Jamaluddin menyebut para orangtua dan guru dibekali alat bantu untuk sekolah daring tahun ini. Materi pembelajaran akan diberikan lewat video yang bisa dilihat di aplikasi Tangerang Belajar atau Tangerang Live. Selain materi, tersedia juga kuis interaktif untuk melatih anak-anak.
Dengan adanya materi yang diunggah di aplikasi tersebut, Jamaluddin berharap sekolah daring di Kota Tangerang bisa berjalan lancar. Bagi orangtua, sekolah daring kali ini tak lagi semenyeramkan tahun ajaran sebelumnya. Banyak orangtua yang sudah menyesuaikan ritme kerja mereka. Manambahkan jam sekolah ke agenda harian mereka. Saya salah satunya.
Mau tak mau, repot tak repot, saya harus meluangkan waktu untuk fokus belajar bersama anak-anak. Mulai dari mengawasi mereka menyimak materi, mengerjakan tugas, hingga membantu mengumpulkan tugas. Berhubung sudah 18 bulan sekolah daring digelar, saya lebih siap untuk sekolah daring tahun ini. Agar huru-hara sekolah daring tak lagi terjadi, tahun ini saya bersiap dengan sejumlah strategi.
1. Disiplin bangun (lebih) pagi
Belajar daring bukan libur. Itu harus saya ingat. Meskipun sekolah dimulai pukul 08.00 (bukan pukul 07.00 seperti sekolah tatap muka), saya tetap harus bangun lebih pagi. Bangun lebih awal memberikan saya waktu bersiap.
2. Terapkan ketegasan kepada anak
Alih-alih kompromi dan memberikan keleluasaan kepada anak-anak, tahun ini saya harus lebih tegas. Sebelum sekolah tahun ajaran kali ini dimulai, saya tekankan kepada anak-anak bahwa ini sekolah daring, bukan liburan yang panjang. Jadi mengerjakan tugas sekolah dan menyimak materi merupakan agenda utama dalam kegiatan harian. Saya juga memastikan anak-anak setuju bahwa semua urusan sekolah daring selesai di waktu yang ditentukan, misalnya sebelum pukul 12.00.
3. Biarkan anak mandiri dan bertanggung jawab
Sekolah daring ini, di satu sisi, punya nilai positif. Anak-anak jadi memahami apa yang dulu kita kenal dengan cara belajar siswa aktif (CBSA). Mereka dipaksa untuk menyimak materi lewat video, kemudian mengerjakan tugas sesuai materi yang disampaikan. Dalam prosesnya, jika mereka kurang paham, mau tak mau mereka harus mencari tahu sendiri. Entah lewat mesin pencari atau bertanya kepada orangtua atau guru. Hal seperti itu mungkin jarang terjadi di sekolah tatap muka, saat siswa tinggal duduk manis menerima apa pun yang dikatakan guru.
Selain itu, sekolah daring ini melatih anak untuk bertanggung jawab akan dirinya sendiri. Mereka harus bisa mengatur waktu dan fokus diri sendiri agar tugas tuntas sesuai tenggat. Skill manajemen diri seperti itu mungkin tak didapat saat sekolah tatap muka, mengingat ada guru yang mengawasi agar mereka fokus mengerjakan tugas di sekolah.
Bagaimanapun juga, saat anak bersekolah daring, para orangtua tak bisa menekan anak-anak secara berlebihan. Orangtua harus lebih realistis melihat kemampuan anak di masa ini. Dengan tantangan di masa pandemi ini, anak-anak tak hanya belajar hal-hal yang ada di buku pelajaran. Lebih daripada itu, generasi ini memahami arti berjuang di tengah keterbatasan dan membangun empati terhadap sesama.
Yuk, ayah bunda, yang semangat ya menemani anak-anak sekolah daring tahun ajaran ini.(dwi)