MerahPutih.com - Penyebaran berita bohong atau hoaks semakin marak jelang Pemilihan Umum (Pemilu 2024). Masyarakat diminta lebih teliti menyaring informasi terutama di media sosial (medsos).
Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) Yenti Garnasih menegaskan bahwa baik pembuat maupun hoaks terkait Pilpres 2024 di media sosial (medsos) dapat dijerat hukum pidana.
“Tentu ada hukumnya, tergantung konten hoaks tentang apa, apa kah fitnah, penghinaan, pornografi, atau pemalsuan data, masing-masing ada undang-undangnya baik konten secara daring atau tidak, semua ada,” jelas, Rabu (31/5).
Baca Juga:
[HOAKS atau FAKTA]: Seorang Anak Alami Gangguan Saraf Motorik akibat Kecanduan Game
Tidak hanya berpotensi terjerat hukum pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Yenti mengatakan setiap unsur kesesatan pada konten terkait pilpres secara jelas termasuk objek pada UU Tindak Pidana Pemilu.
“Dan itu bahkan hukumnya masuk dalam tindak pidana secara cepat, ada pengadilan khusus sendiri,“ jelas Yenti, seperti dikutip Antara.
Wanita yang telah 35 tahun lebih berkecimpung di hukum tindak pidana itu mengatakan, selain pemerintah yang berperan untuk mengedukasi masyarakat mengenai rambu-rambu hukum penyebaran hoaks, para ketua partai juga wajib untuk mengedukasi para kadernya.
Para kader partai, utamanya yang baru bergabung, menurut Yenti, kerap menjadi aktor dalam penyebaran konten hoaks menjelang pemilu, sehingga berpotensi perpecahan antar masyarakat.
“Seolah-olah tidak tahu ada hukumnya, ini pendidikan politik yang tidak bagus, ketua partai harus memberikan edukasi bahwa ini ada rambu-rambunya,“ tambahnya.
Baca Juga:
[HOAKS atau FAKTA]: Tiket Indonesia VS Argentina Paling Murah Rp1,3 Juta
Lebih lanjut, wanita yang mendapat gelar magister dari Universitas Indonesia dan doktor bidang hukum Universitas Trisakti itu juga mengatakan, Indonesia telah memiliki patroli siber dari Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, untuk memantau pelanggaran hukum terkait penyebaran hoaks di media sosial.
Menurutnya, patroli siber juga memegang peran penting dalam memberi efek jera kepada para pembuat dan penyebar konten hoaks tersebut.
“Negara juga harus aware dan memberi obligasi bahwa masih perlu pendidikan atau edukasi kepada masyarakat. Ya tidak harus langsung dipenjara, tapi diberi peringatan, jangan dibiarkan,” jelas Yenti.
Adapun berdasarkan survei Kementerian Komunikasi dan Informatika, indeks literasi digital masyarakat Indonesia masih pada angka 3,49 dari skala 5. Angka ini, belum menginjak kategori baik.
Minimnya literasi digital jadi salah satu penyebab suburnya konten hoaks di jagat maya dan memicu perpecahan di antara masyarakat, terutama menjelang pemilu seperti yang terjadi pada Pemilu 2019 silam.
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia juga sempat menyatakan bahwa menjelang pemilu, umumnya berita hoaks menyebar 6 kali lebih cepat daripada sebelumnya.
Kemenkominfo beberapa waktu lalu juga mengungkapkan bahwa kementeriannya telah menangani 1.321 konten hoaks dengan kasus politik di media sosial per Rabu, 4 Januari 2023. (*)
Baca Juga:
[HOAKS atau FAKTA]: Provokator Kericuhan Timnas Thailand Dihukum Mati