Hari Guru Nasional 2022, Ini Gambaran Guru dalam Puisi Karya Sastrawan Nasional

Hendaru Tri HanggoroHendaru Tri Hanggoro - Jumat, 25 November 2022
Hari Guru Nasional 2022, Ini Gambaran Guru dalam Puisi Karya Sastrawan Nasional
Sepanjang sejarahnya, kehidupan seorang guru memang tak pernah mudah. (Foto: Unsplash/Mufid Majnun)

BANGSA Indonesia memperingati Hari Guru Nasional tiap 25 November. Tanggal ini ditetapkan menjadi Hari Guru Nasional melalui Keputusan Presiden No 78 Tahun 1994. Berbagai perayaan digelar tiap tahunnya. Juga sejumlah apresiasi untuk para guru yang sering disebut sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa".

Kemendikbudristek mengangkat tema "Serentak Berinovasi, Wujudkan Merdeka Belajar" pada Hari Guru Nasional 2022. Tema ini menegaskan peran sentral guru dalam pendidikan. Perkembangan teknologi tak meminggirkan peran guru, melainkan mendorong guru agar memberikan perubahan dan kebaruan dalam pembelajaran di kelas.

Ini berarti membuat tugas guru semakin berat. Sepanjang sejarahnya, kehidupan seorang guru memang tak pernah mudah. Ada saja tantangan yang menyergapnya. Puisi-puisi tentang guru karya sastrawan nasional berikut ini bisa menggambarkan tantangan yang pernah dihadapi guru pada berbagai zaman.

Baca juga:

Peringati Hari Guru Nasional, Jokowi: Tantangan Kian Berat

puisi tentang guru
Guru itu tak punya apa-apa untuk diberikan pada murid selain buku dan sedikit ilmu. (Foto: Unsplash/National Cancer Institute)

1. "Dari Seorang Guru kepada Murid-Muridnya" karya Hartojo Andangdjaja

Hartojo Andangdjaja adalah sastrawan kelahiran Solo 4 Juli 1930. Dia menulis puisi yang hidup meski dengan bahasa yang sederhana. Puisi-puisinya dianggap memiliki daya tangkap memotret realitas sosial, tetapi itu tak lantas jatuh dalam bentuk yang terlalu tersurat.

Gaya Hartojo itu tampak dalam puisi "Dari Seorang Guru kepada Murid-Muridnya" yang dibuat di Solo pada 1955. Melalui puisinya ini, dia mengungkap gambaran guru yang sederhana. Guru itu tak punya apa-apa untuk diberikan pada murid selain buku dan sedikit ilmu. Selain itu, guru tersebut juga hidup secara bersahaja lewat gambaran gorden jendela yang tak pernah diganti. Bunyi lengkapnya sebagai berikut:

"Apa yang kupunya, anak-anakku
selain buku-buku dan sedikit ilmu
sumber pengabdianku kepadamu

Kalau di hari minggu engkau datang ke rumahku
aku takut, anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana
dan meja tulis sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
semua padamu akan bercerita
tentang hidupku di rumah tangga

Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita
depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja
—–horison yang selalu baru bagiku—-
karena kutahu, anak-anakku
engkau terlalu muda
engkau terlalu bersih dari dosa
Untuk mengenal ini semua"

Baca juga:

Hari Guru Nasional, Tunjukkan Apresiasi lewat Fasilitas Mengajar Nyaman

puisi tentang guru
"Sajak SLA" adalah puisi yang mengungkapkan kegelisahan Rendra terhadap nasib guru dan pendidikan Indonesia. (Foto: Unsplash/Thisisengineering)


2. "Sajak SLA" Karya W.S. Rendra

Wilibrordus Surendra Broto Rendra atau lebih dikenal sebagai Rendra adalah salah satu penyair besar yang pernah dimiliki Indonesia. Puisi-puisinya berangkat dari realitas kehidupan masyarakat.

Rendra pandai mengungkapkan persoalan keseharian masyarakat dengan cara yang estetik dan mendalam. Pilihan katanya jitu, cermat, sekaligus menendang. Tak mengherankan bila puisinya dijadikan contoh dalam buku-buku pelajaran berbahasa Indonesia di sekolah.

"Sajak SLA" adalah puisi panjang yang mengungkapkan kegelisahan Rendra terhadap nasib guru dan pendidikan Indonesia. Dia membuka puisinya secara menyentak dan mengakhirinya dengan menyentak pula. Berikut beberapa bagian puisi panjangnya:

"Murid-murid mengobel klentit ibu gurunya
Bagaimana itu mungkin?
Itu mungkin.
Karena tidak ada patokan untuk apa saja.
Semua boleh. Semua tidak boleh.
Tergantung pada cuaca.
Tergantung pada amarah dan girangnya sang raja.
Tergantung pada kuku-kuku garuda dalam mengatur kata-kata.

Ibu guru perlu sepeda motor dari Jepang.
Ibu guru ingin hiburan dan cahaya.
Ibu guru ingin atap rumahnya tidak bocor.
Dan juga ingin jaminan pil penenang,
tonikum-tonikum dan obat perangsang yang dianjurkan oleh dokter.
Maka berkatalah ia
Kepada orang tua murid-muridnya :
“Kita bisa mengubah keadaan.
Anak-anak akan lulus ujian kelasnya,
terpandang di antara tetangga,
boleh dibanggakan pada kakak mereka.
Soalnya adalah kerjasama antara kita.
Jangan sampai kerjaku terganggu,
karna atap bocor.”

3. "Guruku" Karya Mustofa Bisri

Mustofa Bisri atau karib dipanggil Gus Mus adalah ulama yang juga seorang penyair. Dia menjadi pemimpin Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah.

Sebagai penyair, Gus Mus sering menyajikan puisi yang mendalam, penuh dengan ruh, dan dengan bahasa yang sederhana. Tak jarang puisinya menggunakan perbandingan ironi dan sedikit menyindir kekerdilan cara berpikir orang tentang sesuatu. Contohnya puisi "Guruku".

Dalam puisi yang singkat ini, Gus Mus membandingkan dua gambaran seseorang terhadap guru tentang guru. Saat kecil, dia memandang guru seorang yang besar dan pintar. Tapi saat dia besar, dia justru melihat guru sebagai orang yang begitu kecil dan lugu. Begini bunyi lengkap puisinya.

"Ketika aku kecil dan menjadi muridnya
Dialah di mataku orang terbesar dan terpintar
Ketika aku besar dan menjadi pintar
Kulihat dia begitu kecil dan lugu
Aku menghargainya dulu
Karena tak tahu harga guru
Ataukah kini aku tak tahu
Menghargai guru?" (kna)

Baca juga:

Bagi-bagi Sarapan untuk Guru Indonesia

#Hari Guru Nasional
Bagikan
Bagikan