MerahPutih.com - Ketua majelis hakim Ignasius Eko Purwanto mengaku heran lantaran pemeriksaan yang dilakukan tim Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung (Jamwas Kejagung) soal dugaan pelanggaran etik Pinangki Sirna Malasari tidak mendalam.
Eko menyampaikan hal tersebut setelah mendengarkan keterangan saksi jaksa Luphia Claudia Huae yang merupakan anggota tim pemeriksa dari Jamwas terhadap Pinangki. Luphia dihadirkan sebagai saksi untuk terdakwa Pinangki.
Baca Juga:
Saksi Bongkar Borok Pinangki: 9 Kali Lakukan Perjalanan Dinas Tanpa Izin Kejagung
"Makanya terus langsung percaya silakan lah ya, karena bagi majelis itu aneh karena kami kalau meriksa itu detil," kata Eko dalam sidang lanjutan perkara suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) dan pemufakatan jahat di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (30/11).
Luphia sempat memeriksa Pinangki secara etik saat foto mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan di Kejagung itu bersama Djoko Tjandra mengemuka ke publik.
Selain soal foto Pinangki bersama Djoko Tjandra, Luphia juga mengaku diperintahkan oleh pimpinan Korps Adhyaksa untuk memeriksa Pinangki terkait sembilan kali perjalanan dinas tanpa izin.
Dalam kesaksiannta di sidang kali ini, Luphia menceritakan proses pemeriksaan tersebut. Dia mengaku menanyai Pinangki ihwal kepergiannya ke luar negeri.
Saat diperiksa Luphia, Pinangki mengaku bertemu dengan seseorang bernama Jochan, bukan Djoko Tjandra, di Kuala Lumpur untuk membicarakan soal power plant. Pinangki dikenalkan Jochan oleh seseorang bernama Rahmat.
"Akan tetapi, Pinangki tidak menyampaikan bentuk power plant, tetapi semacam pembangkit listrik itu saja," ujar Luphia.

Hakim lantas mencecar Luphia ihwal power plant tersebut. Namun, Luphia pun mengaku tidak mendalami soal power plant dalam pemeriksaan Pinangki saat itu.
"Makanya pertanyannya kan aneh saudara adalah jaksa di bidang pengawasan mendapat jawaban bahwa ini adalah power plant yang ditawarkan makanya aneh ketika tidak diperdalam power plant-nya itu power plant apa siapa yang punya kegiatan di bidang itu," kata hakim.
Dalam perkara ini, Pinangki didakwa menerima uang senilai USD500 ribu dari yang dijanjikan sebesar USD1 juta oleh Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa di Mahkamah Agung (MA). Hal ini dilakukan agar Djoko Tjandra bisa lepas dari eksekusi pidana penjara kasus hak tagih Bank Bali.
Pinangki didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 jo. Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, Pinangki juga didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Untuk pemufakatan jahat, Pinangki didakwa melanggar Pasal 15 Jo Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jo. Pasal 88 KUHP. (Pon)
Baca Juga:
Sespri Ungkap Djoko Tjandra Transfer Rp1,6 Miliar ke Anita Kolopaking