GEGAYAAN DI NEGERI AING

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Senin, 01 Maret 2021
GEGAYAAN DI NEGERI AING
Gegayaan di Negeri Aing. (Fikri/MerahPutih.com)

RAMBUT gondrong lurus, lemes, menjuntai, tapi di bagian depan berdiri jabrik kerucut. Pakai baju kaus kebesaran (oversize), tapi celana panjang ketat. Plus, latar lagu bertempo cepat, tapi goyangnya meliuk. Gaya fenomenal Jamet Kuproy akronim 'Jawa Metal Kuli Proyek' tersebut sempat viral belakangan.

Dari TikTok, gaya busana penari meningkahi lagu Dindin Badindin tersebut menyebar menjadi buah bibir di jagad media sosial lantaran dianggap enggak matching, kampungan, alay, dan sejenisnya.

Warganet menjadikan video tersebut bahan lelucon, hinaan, nyinyiran, sekadar pelepas penat, tapi tak jarang justru jadi sumber inspirasi. Tak sedikit dari para pencela melontarkan hinaan selagi pontang-panting meniru mentah-mentah tren sembari memuja merek-merek fesyen internasional. Sementara, Jamet Kuproy telah selesai mendefinisikan diri sebagai entitas baru.

Dari fenomena Jamet Kuproy, mata banyak orang justru diberi semacam teropong terbaik melihat Indonesia hari ini secara lebih dekat seutuhnya. Gayanya, mengutip Elizabeth Wilson pada Adorned in Dreams: Fashion and Modernity, menghubungkan tubuh dengan dunia sosial.

Makna kampungan menjadi lebih lentur sejak gaya Jamet Kuproy banyak direduplikasi. Kaidah umum berbusana juga diajak diuji ulang karena tabrakan estetika justru membuat gaya mereka menjadi unik. Alay, jamet, kampungan, sebenar-benarnya halaman belakang rumah kita nan lebih berantakan ketimbang pekarangan depan namun membuat penghuninya betah berlama-lama bermalas-malasan menjadi diri sendiri.

Masyarakat Indonesia sejak berabad silam sangat terbuka atas pengaruh dari luar dan penafsiran dari dalam. Ketika bangsa Belanda datang ke Nusantara, menurut Kees van Dijk pada "Sarung, Jubah, dan Celana; Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi", tidak saja memperkenalkan benda-benda baru tetapi juga menemukan dunia terus-menerus bergerak.

Indonesia hari ini memang tidak sedang terjebak pada pandangan-pandangan paradoks antropolog Eropa abad 20 ketika sedang mencatat bumiputera dengan pakaian kain melilit tubuh sebagai bentuk ketertinggalan. Sekarang, pakaian menjadi ekspresi pernyataan diri, baik komunitas, latar kultural maupun sosial, gender, sikap politik, dan dukungan terhadap nilai tertentu.

Begitu penilaian terhadap pakaian berusaha membandingkan jelek-bagus, murah-mahal, elegan-norak, dan seterusnya maka kita kembali menggunakan kacamata antropolog Eropa abad 20-an melabel bumiputera sehingga menutup ruang percakapan tentang konteks, latar belakang, dan nilai di balik pakaian seseorang.

Kita tak akan beroleh cerita tentang semangat betapa berusaha guyubnya orang Indonesia dari cara mereka hobi membuat kostum komunitas, seperti baju studi tour anak sekolah dasar, baju senam ibu-ibu, jaket komunitas motor, baju bola, dan seterusnya, jika cara pandang lampau tentang bagus-jelek masih digunakan.

Bahkan, tak perlu pula kita memperdebatkan fungsi saat seseorang atau sekelompok orang berbusana karena unsur estetika dan kebanggaan seseorang sulit diukur. Semisal, mungkin sulit bagi orang awam beroleh jawaban mengapa banyak orang mengenakan helm di acara dangdutan. Barangkali setali tiga uang dengan kebiasaan pengendara Vespa memakai jaket parka di Jakarta siang hari terik.

Dibutuhkan konteks dan latar belakang cerita utuh agar bisa memahami alasan seseorang mengusung gaya atau busana tersebut. Kekeliruan penilaian masyarakat terhadap gaya busana di akar rumput lantaran lebih sering memberikan ruang terhadap desainer menjelaskan hasil rancangannya ketimbang mengungkap cerita utuh di balik alasan seseorang mempertahankan ruang ekspresinya.

Lewat gaya dan busana, merahputih.com mengajak pembaca menikmati kekompleksitasan Indonesia melalui tema "Gegayaan di Negeri Aing". Sepanjang Maret, awak redaksi mempersiapkan beragam artikel berkait tren, fenomena, kebiasaan, sejarah, latar kultural, konteks sosial, dan cerita unik nerkait gaya dan busana di 'Negeri Aing'.

Cerita-cerita unik berkait gaya dan busana tersebut akan melengkapi artikel-artikel keunikan Indonesia di sepanjang 2021, mulai wisata di bulan Januari, dan kuliner di bulan Februari. Cara melihat Indonesia hari ini memang harus diubah tak lagi dengan kacamata kuda nan kaku, satu arah, bahkan paradoks, melainkan dengan fenomena-fenomena unik sehari-hari, seperti gaya dan busana. Begtiulah gegayaan di negeri aing. IRI BILANG BOS! (*)

#Maret Gegayaan Di Negeri Aing
Bagikan
Bagikan