KURANG genap bila tak ada minimal satu foto atau gambar bergerak di media sosial saat buka puasa bersama (bukber). Meski momen bukber biasa aja bahkan dengan teman enggak kenal-kenal amat, justru di media sosial harus tampak heboh, hangat, bombastis, dan terkadang harus ada unsur religiusnya. Begitu, baru genap melakoni salah satu ‘ritus’ kaum urban saat bulan ramadan. Sah!
Azas nikmati momen berharga atau santap selagi hangat jadi barang usang di era digital. Pertama, malah amat penting, tentu saja harus foto, rekam, edit, gunakan filter, kemudian unggah di sosial media. Momen berharga terlewat secara langsung, atau makanan udah adem enggak jadi masalah selama sudah tersimpan di ponsel lalu terunggah di media sosial. Kini keberadaan (eksistensi) bukan lagi ada pada peristiwa tekini di dunia nyata, melainkan hadir bertaut dalam gelombang tren atau viral di ranah maya, utamanya media sosial.
Sekarang, dunia nyata bahkan digerakkan dari tren atau hal-hal viral di media sosial. Bunyi taktok-taktok Lato-Lato semakin sering terdengar di jalan raya sampai gang sempit juga karena implikasi dari tren di media sosial. Outfit hangout pakai jersey bola atau jaket outdoor, celana cargo, sepatu bola (samba) juga mula-mula bermunculan di media sosial lalu marak digunakan agar beroleh stempel culture. Malah, perubahan besar di bidang sosial, politik, lingkungan, dan lainnya juga digerakkan di media sosial. Kekuatan media sosial memang punya dampak amat luas. Eksesnya bisa konstruktif tetapi berkemungkinan pula destruktif. Tak mengherankan bila media sosial serupa rahim bagi kelahiran manusia, tumbuhan, maupun hewan di dunia maya.
Manusia lahir di ranah maya saat memiliki akun media sosial. Mereka tak cukup punya keterikatan dengan manusia lain di media sosial, tetapi harus pula mengajak hewan peliharaannya, tanamannya, hingga barang kesayangannya dengan membuatkannya akun. Hanya dengan begitu dirasa dunianya baru bisa terhubung. Keterhubungan bisa terjadi karena media sosial memang medium paling sempurna untuk menunjukkan eksistensi.
Pamer jadi esensi penting bermedia sosial. Mau mendaku diri paling humble pun tetap saja begitu punya akun di media sosial langsung telak-telak menunjukkan gejala lagi pamer. Entah pamer pemikiran, koleksi, pencapaian, kuasa, keindahan, kecantikan, ketampanan, keburukan, kenakalan, kesedihan, penderitaan, kesulitan, dan lainnya. Agak aneh memang ketika seseorang mengomentari jangan pamer atau flexing di media sosial. Justru media sosial esensinya tempat flexing terbaik. Kan enggak perlu heran saat pejabat publik berikut keluarganya pamer barang-barang mewah di akun pribadinya. Toh hanya sampai di situ kemampuannya.
Di kemudian hari akhirnya jadi permasalahan ketika terbongkar ternyata ada dugaan aliran dana tak wajar masuk ke rekeningnya. Serenta, warganet berbondong-bondong membongkar harga barang-barang mewah tersebut lalu membandingkannya dengan penerimaannya sebagai pejabat publik. Anjuran agar pejabat publik tak flexing barang mewah pun semakin deras terlontar apalagi sejak warganet giat berkomentar pedas tentang kebiasaan tersebut.
Fenomena flexing berkaitan erat dengan bermedia sosial, jadi fokus Merahputih.com sepanjang bulan April 2023. Bertepatan dengan bulan ramadan pula, mengangkat flexing menjadi semakin aktual karena sejatinya puasa tak semata menahan haus dan lapar tetapi juga napsu untuk riya. Meski begitu, fokus Merahputih.com justru ingin merekam kebiasaan unik flexing Warga +62 bahkan tak ada tandingannya di negara lain di mana pun. Apakah ada di belahan dunia mana pun alat pengoreksi Tipp-Ex dibuat jadi sarana balapan serupa motor atau lebih dikenal Tipp-Ex Trondol. Di Tiktok, malahan enggak cuma bocah kecil (bocil) melainak orang dewasa juga ikutan flexing versi terkeren Tipp-Ex Trondol miliknya.
Penting pula bagi Merahputih.com menautkan kebiasaan flexing Warga +62 dengan media sosial sebab selain keduanya saling berkaitan, juga sedang terjadi perubahan besar terhadap platform tesebut. Media sosial bukan lagi berfungsi seperti etalase semata. Meski secara esensi tetap sama, secara fungsi justru sekarang lebih mirip mesin penjual otomatis (vending machine). Ruang tata pamer toko mungkin bisa bikin konsumen tergiur meski toko sedang tidak beroperasi. Seolah antara etalase dan operasional toko dua entitas terpisah. Padahal etelase berfungsi mengenalkan, menggaet, hingga membuat calon konsumen tergiur meski produk di dalamnya terkadang dibuat lebih estetis ketimbang aslinya.
Di luar strategi berniaga, secara teknis produk pamer di etalase bisa berbeda dengan dihidangkan di meja makan lantaran satu hal dibuat sekali seumur hidup agar ajeg sedangkan satu lagi dibuat dengan tangan dan keterampilan manusia dengan segala campur aduk emosi di dalamnya setiap hari. Perbedaan itu bagi sebagain konsumen dianggap lumrah namun bagi sisanya terkadang dianggap menipu sebab tuntutannya harus semirip di etalase. Namun, lagi-lagi etalase tetap tak punya mekanisme selain tempat pamer bila toko sedang berhenti operasi.
Sementara, mesin penjual otomatis tak pernah istirahat memamerkan, menyapa lewat suara, menginformasikan dengan teks, hingga bertransaksi dengan konsumen dalam keadaan apa pun. Memberikan pelayanan satu pintu tanpa pernah ‘tidur’ tersebut jadi napas baru media sosial hari ini. Parahnya lagi, antara manusia sebagai audiens dan kreator pun seolah difasilitasi agar tidak ‘tidur’. Tengok saja betapa akun dengan target menjual produk mau tak mau harus live pagi, siang, sore, malam, dini hari, dan pagi buta. Bahkan, akun personal pun melakukan hal serupa agar awareness terbangun meski lebih sering untuk tujuan beroleh give sebanyak-banyaknya.
Segendangsepenarian dengan kreator, para pengguna juga semacam diberi fasilitas untuk menikmati konten tanpa henti sampai baru sadar ternyata matahari disambut kokok ayam telah menyapa. Penggabungan sosial media dan perniagaan digital (e-commmerce) makin memanjakan pengguna untuk mengakses segala hal hanya di satu platform persis seperti konsep mesin penjual ototmatis, bukan lagi etalse. Maka, kini pengguna akun tak semata flexing sebatas ajang validasi tetapi justru pada tahap membranding diri agar punya nilai, berdampak, dan sukur-sukur punya transaksi.
AWAS SERING FLEXING MALAH JADI PUSING! (*)