Hari Film Nasional

Film Terbaik di Era 50an hingga 90an

P Suryo RP Suryo R - Jumat, 30 Maret 2018
Film Terbaik di Era 50an hingga 90an
Pada setiap era terdapat film-film terbaik. (Foto: youtube)

KETIKA masa penjajahan, film-film Indonesia lebih banyak didominasi pihak asing terutama Belanda dan Tiongkok. Pada tahun 1950, sejumlah film karya anak bangsa mulai merajai box office di Indonesia.

Para sutradara Indonesia berlomba-lomba menghasilkan karya terbaiknya. Sejak saat itu, sejumlah film Indonesia mulai bermunculan. Di setiap periode,ada film-film yang menjadi ikon dimasanya. Jika kita diminta menyebutkan film Indonesia terbaik di tahun 2000an atau saat ini mungkin mudah saja. Namun, bisakah kita menyebutkan film-film Indonesia terbaik di era 50an?

Berikut sejumlah film terbaik karya sineas Indonesia di setiap masa:

Era 50an

Long March (Darah dan Doa) (1950)

Film ini cukup fenomenal di masanya. Dapat dikatakan film ini menjadi kebangkitan film karya anak bangsa. Awal syuting film ini disepakati sebagai Hari Film Nasional. Melalui film ini, Usmar Ismail selaku sutradara memotivasi sineas Indonesia lainnya untuk tampil menjadi raja di negerinya sendiri.

Lewat jam malam (1954)

Long March (Darah dan Doa) bukanlah satu-satunya karya Usmar Ismail di era 50an. Setelah sukses melalui film tersebut, Usmar kembali membuat film bertema pascakolonial berjudul Lewat Jam Malam. Berkisah tentang mantan pejuang, Iskandar (AN Alcaff) yang kembali ke masyarakat. Ia mencoba kembali menyesuaikan diri dengan keadaan yang terasa asing baginya. Pembunuhan terhadap seorang perempuan dan keluarganya terus menghantui dirinya.

Lewat Jam Malam digadang-gadang sebagai karya terbaik Usmar. Film ini merupakan sebuah kritik sosial yang tajam dan menyoroti kehidupan mantan pejuang pasca kemerdekaan. "Kepada mereka yang telah memberikan sebesar-besarnya pengorbankan nyawa mereka supaya kita yang hidup saat ini dapat menikmati segala kelezatan buah kemerdekaan. Kepada mereka yang tidak menuntut apapun buat diri mereka sendiri," demikian tulisnya di akhir film.

tiga dara
Tiga Dara. (Foto: pinterest)

Tiga Dara (1956)

Nama Usmar Ismail seolah-olah merajai perfilman Indonesia di tahun 1950an. Film yang meroketkan nama Indriati Iskak sebagai pendatang baru ini booming di masanya. Film ini menceritakan ulah tiga dara bernama Nunung (Chitra Dewi), Nana (Mieke Wijaya) dan Nenny (Indriati Iskak). Tingkah tiga bersaudara ini membuat sang nenek pusing. Neneknya merupakan orang yang menggantikan ibunya setelah si ibu meninggal . Film ini juga menampilkan pertentangan watak Nunung yang pendiam dan Nana yang ceria. Sifat mereka bisa ditengahi oleh si bungsu Nenny.


Era 60an

Dibalik Tjahaja Gemerlapan (1966)

Karya Misbach Jusa Biran ini menggebrak perfilman Indonesia di tahun 60an. Film yang terdiri dari dua seri tersebut berhasil memborong sejumlah nominasi Pekan Apresiasi Film Nasional 1967. Nominasi tersebut diantaranya Sutradara Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik (Soekarno M Noor), Pemeran Pembantu Pria (Atmonadi).

Dibalik Tjahaja Gemerlapan menguak kehidupan di balik panggung pertunjukkan. Djoni (Soekarno M Noor) kerap menipu seniman. Ia merayu para seniman agar mau tampil di pertunjukkan. Pertunjukkan tersebut dilakukan guna mencari dana untuk penampilan sendratari. Sejumlah penyanyi top seperti Titiek Puspa mau menjadi bintang pertunjukkan yang ia buat. Djoni menunjukkan kelihaiannya dalam menipu korban-korbannya.


Era 70an

Amanda (1970)

Film Amanda mengawali periode 70an dengan sangat gemilang. Film ini cukup fenomenal lantaran film ini merupakan karya terakhir Usmar Ismail dan karya pertama Lenny Marlina. Setelah bermain dalam film ini, nama Lenny Marlina melejit. Ia menjadi sosok idola di masanya. Film ini menceritakan tentang Irma alias Amanda (Lenny Marlina) yang menjalani kehidupan keras pasca kepergian ibunya. Hidupnya semakin menderita karena memiliki ibu tiri yang jahat.

Seolah ingin lari dari kehidupannya yang pahit, ia memulai petualangan cintanya dengan beberapa laki-laki. Ketika kesuciannya diambil pria bernama Rachim (Frank Rorimpandey), Rachim justru menikah dengan wanita lain. Frustasi dengan hidupnya, Amanda menjalani hidup seperti berandalan hingga menyeretnya ke penjara.

Film ini berhasil memenangkan piala FFA 1971, Taiwan untuk kategori Tema Terbaik dan Pendatang Baru Terbaik (Lenny Marlina)


Bulan di Atas Kuburan (1973)

Asrul Sani berhasil menorehkan namanya dalam sejarah perfilman Indonesia era 70an. Karyanya yang berjudul Bulan di Atas Kuburan berhasil memenangkan Citra FFI tahun 1975 untuk kategori Pemeran Pembantu Pria Terbaik (Aedy Moward) dan kategori Film Aktual Masyarakat Terbaik. Film tersebut juga mendapatkan Plakat Usmar Ismail tahun 1975. Bulan di Atas Kuburan menceritakan tentang pemuda Batak bernama Sabar (Aedy Moward) yang sukses di ibukota. Melihat kesuksesan Sabar membuat dua pemuda lainnya, Tigor (Muni Cader) dan Sahat (Rachmat Hidayat) menyusulnya ke Jakarta. Ternyata kehidupan Sabar di ibukota tak sesuai ekspektasi mereka. Sabar bekerja sebagai supir oplet dan tinggal di daerah kumuh.

badai pasti berlalu
Badai Pasti Berlalu. (Foto: crazygirlatcinema)


Badai Pasti Berlalu (1977)

Badai Pasti Berlalu diangkat dari novel Marga T dengan judul serupa. Film ini disutradarai oleh Teguh Karya dan menjadi salah satu film fenomenal di era 70an. Film ini bahkan dinobatkan sebagai Film Terlaris dengan jumlah penonton mencapai 212.551 penonton. Sejumlah bintang papan atas tanah air mengambil peran dalam film ini sebut saja Christine Hakim, Roy Marten, dan Slamet Rahardjo.

Kesuksesan film ini membuat sutradara muda, Teddy Soeriaatmadja membuat remake pada 2007. Sayangnya, kesuksesan pada 1977 tak bisa diulang pada 2007. Film ini mengisahkan tentang perempuan bernama Sisca (Christine Hakim) yang berubah menjadi dingin setelah dilukai oleh kekasihnya. Lalu muncul mahasiswa kedokteran bernama Leo (Roy Marten) yang coba meluluhkan es di hati Sisca.

Upaya Leo tersebut rupanya hanya ajang taruhan Leo dengan teman-temannya. Namun, Leo jatuh cinta sungguhan dengan Sisca. Terlambat, Sisca bertemu dengan pria bernama Helmy (Slamet Rahardjo dan menikah. Pernikahan keduanya tak bahagia. Sisca pun memilih untuk berpisah dari Helmy dan kembali kepada Leo. Film ini berhasil memenangkan Piala Citra FFI pada 1978 untuk kategori Fotografi, Editing, Suara dan Musik. Film ini juga mendapatkan Piala Antemas FFI 1979 untuk film terlaris 1978 - 1979.


Era 80an

Secangkir Kopi Pahit (1980)

Tahun 1980 ditandai dengan munculnya film besutan Teguh Karya. Film ini mengisahkan mahasiswa dari Sumatera Utara bernama Togar (Alex Komang) yang diharapkan keluarganya menjadi sarjana ekonomi tetapi bakat sesungguhnya adalah jurnalistik. Rencana itupun kandas. Ia justru berakhir sebagai buruh kasar di sebuah pabrik semen. Dengan bantuan sahabatnya, Buyung (Ray Sahetapy) ia mulai aktif menulis di surat kabar. Dirinya pun keluar dari pabrik semen.

Perjalanan hidup Togar tak mulus begitu saja. Di Jakarta, ia menghamili seorang perempuan bernama Lola (Rina Hassim). Dirinya tak berani kembali ke kampungnya karena malu. Keluarganya di kampung tak sekejam yang dibayangkan. Lola dan anaknya diterima di kampungnya. Mereka bahkan mendapatkan marga. Kebahagiaan itu tak berlangsung la. Ketika ia mengajak Lola jalan-jalan ke Danau Toba, Lola jatuh ke danau dan mati tenggelam karena kelalaiannya.

Film ini menjadi Unggulan FFI pada 1985 untuk kategori Pemeran Pembantu Wanita (Rina Hassim), Pemeran Pembantu Pria (Ray Sahetapy), Cerita, Musik, Suara, Artistik, Fotografi dan Sutradara.

Naga Bonar
Naga Bonar. (Foto: youtube)


Naga Bonar (1986)

Siapa tak kenal Naga Bonar? Sosoknya dikenal hingga saat ini. Naga Bonar dianggap sebagai ikon tokoh era 80an. Film besutan MT Risyaf ini dibintangi oleh Deddy Mizwar dan Nurul Arifin. Film Naga Bonar mengambil latar belakang zaman perang kemerdekaan. Naga Bonar merupakan mantan copet yang tak berpendidikan dan naif. Meski demikian ia memiliki kesetiakawanan tinggi dan tekad kuat.

Ia mengangkat dirinya sendiri sebagai komandan laskar dan berjuang melawan Belanda. Ia terlibat cinta dengan Kirana (Nurul Arifin), anak seorang dokter yang berpihak pada Belanda. Dalam film ini, Deddy Mizwar bermain dengan totalitas dan menghidupkan sosok Naga Bonar dengan luar biasa.

Film ini menyabet begitu banyak kategori Piala Citra 1987 seperti Film, Skenario, Cerita, Pemeran Utama Pria (Deddy Mizwar), Pemeran Pembantu Wanita (Roldiah Matulessy), Musik, Suara, Unggulan FFI 19kategori Pemeran Pembantu Pria (Afrizal Anoda), dan Artistik.


Ibunda (1986)

Teguh Karya merajai perfilman era 80an. Karyanya yang berjudul Ibunda berhasil menarik perhatian penonton. Film ini mengisahkan tentang Rakhim (Tuti Indra Malaon), seorang janda priyayi. Dirinya selalu mengambilalih beban hidup anak-anaknya. Sebenarnya ia ingin membagikan beban tersebut dengan anak-anaknya, namun ia tak mampu.

Ibunda berhasil menyabet Piala Citra FFI 1986 untuk film, Sutradara, Cerita, Fotografi, Musik, Suara, Artistik, Pemeran Utama Wanita (Tuti Indra Malaon), Pemeran Pembantu Wanita (Niniek L Kariem), Unggulan, Skenario dan Editing.


Era 90an

Ramadhan dan Ramona (1992)

Film ini menjadi saksi sejarah perjalanan cinta Jamal Mirdad dan Lydia Kandou. Film berdurasi 87 menit tersebut merupakan besutan Chaerul Umam. Film ini mengisahkan tentang sepasang anak orang kaya yang mencari jati diri. Ramona (Lydia Kandou) mencoba menyelami kehidupan rakyat kecil dengan bekerja di atas bis kota. Sementara Ramadhan (Jamal Mirdad) merupakan anak bangsawan Malaysia yang menyamar sebagai pegawai biasa di Jakarta.

Chaerul Umam mampu menyajikan romansa percintaan antara dua sejoli yang sama-sama menyembunyikan identitasnya. Ketika keduanya saling tahu latar belakang masing-masing, Ramona meninggalkan Ramadhan. Ramadhan terus berupaya mengejarnya. Sutradara dan penulis skenario, Putu Wijaya berusaha menyentil sejumlah permasalahan sosial seperti wanita hamil yang ditinggal pacar, pindah-pindah kerja karena perlakukan tak adil, dan lain-lain.

Film ini berhasil meraih Piala Citra tahun 1992 untuk Film, Sutradara, Skenario, Pemeran Utama Pria (Jamal Mirdad), Pemeran utama wanita (Lydia Kandou), Unggulan, Pemeran Pembantu Pria (Amak Baldjun), Cerita, Fotografi, Artistik, Editing dan Musik.

ramadhan dan ramona
Ramadhan dan Ramona. (Foto: pinterest)

Bulan Tertusuk Ilalang

Garin Nugroho menampilkan kebudayaan Jawa dalam film ini. Ia menampilkan masalah kuno - modern dalam budaya Jawa. Bulan Tertusuk Ilalang menceritakan tentang Ilalang (Norman Wibowo) yang memiliki trauma masa kecil yakni kekerasan oleh ayahnya yang selalu menusuk ia dengan kawat dan jarum. Ia juga mencintai ibunya. Trauma itu terbawa hingga ia dewasa dan belajar pada seorang musikus tua kraton. Film ini memenangkan FFAP, 1995, Jakarta untuk Film, Pemeran Utama Pria (Norman Wibowo), Artistik, Fotografi dan Suara.

Demikian deretan film terbaik di setiap zamannya. Film menggambarkan fenomena yang terjadi di masanya. Dengan menyaksikan film di masing-masing era membuat kita lebih bijaksana dalam melihat dan mengamati fenomena di Indonesia. (avia)

#Film
Bagikan
Ditulis Oleh

Iftinavia Pradinantia

I am the master of my fate and the captain of my soul
Bagikan