Estimasi Desain APBN 2023

Andika PratamaAndika Pratama - Kamis, 04 Agustus 2022
Estimasi Desain APBN 2023
Ilustrasi uang rupiah. Foto: Mohamad Trilaksono/Pixabay

MerahPutih.com - Situasi Pandemi COVID-19 yang belum juga usai serta perang Rusia-Ukraina di awal tahun 2022 menyebabkan supply shock bahan pangan dan energi. Dampaknya, inflasi melambung tinggi yang menjalar di banyak kawasan.

Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah mengatakan, situasi ini ada untung ruginya bagi ekonomi Indonesia. Efek kenaikan harga komoditas global di Kuartal IV tahun 2021 berdampak penerimaan perpajakan kita melampaui target, setelah 12 tahun berturut turut kita mengalami short fall pajak.

Baca Juga

Anggota DPR Sebut Pembengkakan Biaya Kereta Cepat Dilema bagi Indonesia

"Naiknya harga komoditas juga menjaga surplus perdagangan sejak Mei 2020," kata Said dalam keterangannya Kamis (4/8).

Di lain hal, kata Said, Indonesia harus memperbesar alokasi belanja subsidi dan kompensasi energi, yakni BBM, LPG dan listrik. Ini disebabkan karena Indonesia telah lama menjadi importir minyak bumi. Biaya tambahan juga dibutuhkan untuk menjaga daya beli, khususnya rumah tangga miskin terhadap kenaikan inflasi yang mulai dirasakan pada sejumlah bahan pangan impor.

"Bila pada sejumlah serial meeting tingkat Menteri G20 dan puncaknya pada KTT G20 pada November 2022 nanti tidak membuahkan hasil nyata untuk mengatasi supply shock pangan dan energi dunia, maka tahun depan kita masih akan menghadapi situasi ekonomi yang kurang lebih sama seperti tahun ini," ujarnya.

Namun, lanjut politikus PDI Perjuangan (PDIP) ini, bila KTT G20 bisa menganulir berbagai pelarangan produk pangan dan energi Rusia ke pasar global, langkah itu akan membuka pasokan logistik global pulih secara perlahan.

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR periode 2019-2024 dari Fraksi PDI Perjuangan Said Abdullah. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR periode 2019-2024 dari Fraksi PDI Perjuangan Said Abdullah. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Ia menjelaskan, pada tahun 2023, Indonesia perlu mewaspadai kesiapan fiskal karena tahun depan Indonesia harus kembali pada defisit pembiayaan APBN di bawah tiga persen PDB. Pemerintah, kata dia, tidak bisa lagi membuka pembiayaan utang seperti tiga tahun terakhir untuk melebarkan ruang fiskal.

Karena itu, menurut Said, senjata utama pemerintah agar memiliki dompet lebih tebal yakni dengan menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi, menjaga surplus perdagangan yang di topang dari ekspor baru dan manufaktur, penerimaan perpajakan yang baik, dan inflasi yang terkendali, serta meningkatkan investasi, khususnya pada sektor primer.

"Pertumbuhan ekonomi optimis bisa kita raih ke level lima persenan jika kita mampu mengelola inflasi dengan baik. Dengan inflasi terkendali dengan baik, maka permintaan domestik (konsumsi rumah tangga) sebagai pilar penting pertumbuhan ekonomi kita selama ini akan terjaga. Kita masih peluang besar seiring masih relatif tingginya harga komoditas ekspor," jelas dia.

Baca Juga

Kisruh Labuan Bajo, Komisi X DPR Akan Panggil Kemenparekraf

Menurut Said, porsi ekspor dalam mendorong permintaan perlu terus ditingkatkan, agar tidak semata mata mengandalkan permintaan domestik. Dia menilai ini waktu yang tepat untuk melakukan transformasi ekonomi untuk lebih outward looking.

"Kta tidak boleh mengandalkan ekspor hanya bertumpu pada komoditas. Program hilirisasi harus mulai tampak kontribusinya pada produk ekspor baru. Selama rentang 2014-2019 kita hanya menghasilkan 17 produk ekspor baru, sementara Vietnam 48, Thailand 30, dan Malaysia 30 produk ekspor baru," ujarnya.

Dari sisi investasi, Indonesia perlu lebih giat mendorong investasi pada mesin-mesin dan peralatan serta hak kekayaan intelektual. Pasalnya, pengeluaran untuk barang modal atau PMTB selama ini lebih dari 70 persen di dominasi oleh bangunan, sementara kontribusi mesin, peralatan dan hak kekayaan intelektual masih rendah.

"Karena konsentrasi investasi masih pada sektor bangunan, akibatnya daya dukung produksi barang belum memadai, ditambah sumber daya manusia yang belum mempuni, dan tingginya biaya logistik, hal ini menjawab persoalan mengenai Incremental Capital Output Ratio atau ICOR kita masih tinggi di level 6,24 pada tahun lalu," terang dia.

Lebih lanjut, Said mengatakan lebih dari 30 persen belanja negara sudah ditransfer ke daerah dan desa. DPR, kata dia, telah memberikan dukungan kepada pemerintah pusat dan daerah melalui Undang Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD).

"Melalui undang undang ini pemda diberikan kewenangan fiskal yang lebih besar, seiring dengan kewajiban untuk efisiensi belanja rutinnya. Dengan menjalankan undang undang ini dengan baik, kontribusi pembangunan didaerah akan jauh lebih besar effortnya. Sehingga tumpuan pembangunan tidak hanya mengandalkan belanja pusat," kata Said.

Baca Juga

DPR Minta Penjelasan Kemensos Perkara Temuan Beras Terkubur di Depok

Jika mampu disiplin dalam mengelola target, serta cepat melakukan mitigasi atas berbagai dinamika sosial, ekonomi, politik dan keamanan, serta berkaca dari kemampuan cepat melakukan recovery di tahun 2021, Said memperkirakan postur APBN 2023 seperti berikut ini:

1. Asumsi ekonomi makro:

a. pertumbuhan ekonomi 5,2-5,5 persen

b. inflasi ±4 persen

c. kurs (Rp/USD) 14.400-14.700

d. suku bunga SUN 10 tahun 7,3-9 persen

e. harga minyak mentah Indonesia (ICP); 90-100 USD/barel

f. lifting minyak mumi 650-680 ribu barel/hari

g. lifting gas bumi 1.040-1.150. setara minyak, ribu barel/hari.

2. Target indikator kesejahteraan:

a. tingkat kemiskinan 7,5-8,5 persen

b. ingkat Pengangguran Terbuka 5,3-6 persen

c. Rasio Gini 0,375-0,378

d. Indeks Pembangunan Manusia 73,3-73,4

e. Nilai tukar petani 105-107

f. Nilai tukar nelayan 107-108

3. Pendapatan negara berkisar Rp 2.296,64-2.507,8 triliun, yang terdiri dari penerimaan penerimaan perpajakan berkisar Rp 1.936,14-2.050,58 triliun penerimaan negara bukan pajak Rp 385,5-455,22 triliun; dan penerimaan hibah Rp 2 triliun.

4. Belanja negara berkisar Rp 2.829,8-3.116,88 triliun yang terdiri dari belanja pusat Rp 2.019,9-2.276,6 triliun, transfer ke daerah dan desa Rp 809,9-840,73 triliun.

5. Defisit berkisar: 2,85 persen PDB

6. Pembiayaan:

a. SBN netto: Rp 600,8- 902,2 triliun

b. Investasi netto: Rp 65,6-205,0 triliun

c. Rasio utang terhadap PDB: 40,58-42,35 persen PDB. (Pon)

Baca Juga

Anggota DPR Sebut Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Sudah Bermasalah Sejak Awal

#DPR RI #APBN #Anggaran APBN
Bagikan
Ditulis Oleh

Ponco Sulaksono

Bagikan