Eks Kuasa Hukum Setnov Sebut Korupsi Kejahatan Biasa, Ini Alasannya

Angga Yudha PratamaAngga Yudha Pratama - Sabtu, 02 Juni 2018
Eks Kuasa Hukum Setnov Sebut Korupsi Kejahatan Biasa, Ini Alasannya
Mantan kuasa hukum Setya Novanto, Maqdir Ismail (MP/Ponco)

MerahPutih.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode M Syarif menilai pasal-pasal dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi. Untuk itu, KPK meminta agar tindak pidana korupsi seluruhnya tetap diatur dalam UU khusus di luar KUHP.

Menyikapi hal tersebut Advokat Maqdir Ismail menjelaskan, bila dibandingkan dengan negara-negara di eropa Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak masuk ke UU khusus seperti di Indonesia. Karena itu menurut mantan kuasa hukum terpidana korupsi e-KTP, Setya Novanto ini, tidak masalah jika nantinya tindak pidana korupsi masuk dalam KUHP.

"Kalau dilihat di Belanda, Inggris, mereka tidak buat UU khusus, tapi UU mereka, enggak ada masalah. Ini soal politik hukum mungkin yang harus kita cermati dengan baik," ujar Maqdir dalam diskusi bertajuk "Berebut Pasal Korupsi?" di Gado-Gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/6).

Maqdir menilai, korupsi merupakan kejahatan biasa. Namun karena pelakunya adalah penyelenggara negara, baik dari eksekutif, legislatif dan yudikatif, maka orang mempersepsikan hal itu menjadi luar biasa. "Saya kira ini korupsi kejahatan biasa, bukan korupsi yang luar biasa, cuma karena yang melakukan itu penyelenggara negara," jelas dia.

Meski Maqdir mengakui korupsi telah menggerogoti bangsa ini. Namun dia meyakini bahwa negara tidak akan bubar karena adanya korupsi. "Negara tidak akan bubar oleh korupsi, kalau menggerogoti iyah," tegas Maqdir.

Lebih lanjut Maqdir menuturkan bahwa sejak dulu korupsi bukan termasuk kejahatan luar biasa. Menurut dia, dalam Undang-Undang Internasional yang masuk sebagai kejahatan luar biasa adalah pelanggaran HAM. "Yang anehnya korupsi kejahatan yang luar biasa, padahal kalau UU Internasional misalnya, khususnya kejahatan luar biasa, korupsi ini enggak masuk, yang masuk itu kejahatan HAM," pungkasnya.

KUHP yang masih berlaku saat ini memang merupakan warisan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda. Indonesia diyakini akan memiliki KUHP yang baru bertepatan dengan momentum kemerdedaan Republik Indonesia ke-73.

"Setelah lebaran nanti, itu sudah bisa kita ketuk. Intinya ini akan diketuk lebih awal sebelum 17 Agustus. Sehingga nanti pas tanggal 17 Agustus menjadi kado Kemerdekaan Republik Indonesia," ujar Politis NasDem, Taufiqulhadi.

Meski demikian, masih ada pasal yang masih memerlukan kajian kembali. Salah satunya, mengenai hukuman mati. Bahkan, sampai saat ini pembahasan tersebut masih berjalan alot di parlemen. "Menurut kami sudah selesai tapi ada pasal-pasal yang kami anggap memerlukan sebuah keputusan, kajian, masukan lagi seperti hukuman mati," jelas dia.

soal substantif, Menurut pakar hukum tata negara Refly Harun, masih banyak perdebatan terhadap sejumlah pasal yang harus segera diselesaikan. Sejumlah pasal kontroversial itu di antaranya pasal penghinaan terhadap presiden, pasal perzinaan, pasal menyasar LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender, queer), dan pasal tentang tindak pidana korupsi (tipikor).

Pada pasal penghinaan presiden, menuai kontroversi karena pasal tersebut pada tahun 2006 lalu pernah dicabut berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi. Komnas HAM beranggapan upaya penghidupan kembali pasal tersebut bisa mengingkari janji demokrasi dan bisa mengancam iklim demokrasi di Indonesia.

Pasal kontroversial lainnya adalah soal perluasan pasal perzinaan dalam RKUHP. Dalam pasal 484 tersebut, dijelaskan laki-laki atau perempuan baik yang terikat perkawinan sah atau tidak terancam hukuman pidana jika melakukan zina. (pon)

#Maqdir Ismail
Bagikan
Bagikan