KUARTAL keempat 2022 datang menantang. Dalam hal ekonomi, tahun 2022 dipenuhi tantangan cukup berat akibat makroekonomi nan tak menentu.
Kenaikan harga barang dan jasa yang terjadi belakangan ini tentunya bukan tanpa alasan, melainkan dampak dari berbagai peristiwa yang terjadi, salah satunya yakni konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina. Konflik tersebut telah menyebabkan gangguan pada rantai pasok barang di seluruh dunia.
Meski demikian, bukan berarti kamu yang tengah membangun portofolio investasi malah berhenti. Economist di Bahana TCW Investment Management Emil Muhamad, dalam keterangan resmi yang diterima Merahputih.com, memberikan gambaran prospek ekonomi kuartal 4 lewat 5 poin analisis.
BACA JUGA:
1. Inflasi AS telah lewati puncak, tapi berpeluang tetap tinggi
Sejalan dengan penurunan harga komoditas seperti minyak dunia, besi dan baja, gandum, hingga kedelai, inflasi AS mulai turun pada Juli lalu. Di masa depan, inflasi AS berpotensi sedikit turun, tapi tetap pada tingkat yang tinggi.
Pasar memperkirakan inflasi berada di kisaran 7-10 persen pada Q4 2022. Meskipun perlahan mulai turun, inflasi yang bertahan tetap tinggi masih mendorong The Fed untuk melanjutkan penaikan suku bunganya. Hal itu akan menjadi salah satu faktor pendorong Bank Indonesia untuk menaikan suku bunga.
2. Tren penaikan suku bunga AS dan global berpotensi berlanjut
Dalam rangka mengendalikan inflasi kembali ke target 2 persen, The Fed dan bank sentral lainnya masih perlu melanjutkan tren penaikan suku bunga. Gubernur The Fed Jerome Powell telah menyatakan dengan tegas pada perhelatan Jackson Hole Economic Symposium bahwa The Fed akan terus menaikkan suku bunga hingga inflasi telah ‘mati’ atau tidak akan bangkit lagi.
Hal itu akan dilakukan The Fed meskipun konsekuensinya ekonomi AS harus melemah. Langkah serupa juga baru-baru ini diambil Bank Sentral Eropa. European Central Bank (ECB) menyatakan akan terus menaikkan suku bunga hingga inflasi dapat terkendali. Dengan begitu, pada Q4 2022, tren penaikan suku bunga masih akan berlanjut dan akan berdampak negatif pada pasar obligasi global, termasuk pasar obligasi Indonesia.
BACA JUGA:
3. Ekonomi global melambat, pasar saham global hadapi tantangan
Setelah berakhirnya stimulus ekonomi besar-besaran semasa krisis akibat COVID-19, ekonomi global kini tengah menuju perlambatan. Kombinasi konflik geopolitik, lockdown ketat di Tiongkok, serta penaikan suku bunga global menjadi paduan yang tepat menuju perlambatan ekonomi global.
Hal itu dapat menjadi risiko negatif bagi pasar saham global di Q4 2022. Perlambatan berpotensi terjadi lebih dulu di Eropa, kemudian menjalar ke Amerika dan Asia. Secara historis, performa pasar saham tertekan di masa perlambatan ekonomi.
4. Penaikan harga BBM bangkitkan inflasi domestik
Setelah sekian lama menahan tekanan kenaikan harga minyak mentah dunia, pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM bersubsidi Pertalite, Pertamax, dan Bio Solar. Penaikan harga tidak terhindarkan lagi setelah beban subsidi APBN meningkat tajam.
Setelah Penaikan harga BBM, sejumlah barang dan jasa lain mulai terpantau ikut menyesuaikan. Dampak penaikan harga BBM diperkirakan masih akan terus terjadi hingga Q4 2022. Inflasi berpotensi naik mengikuti inflasi global yang selama ini telah naik terlebih dahulu akibat tidak adanya skema subsidi. Dengan bergabungnya Indonesia ke jajaran negara dengan inflasi tinggi, hal itu dapat membawa risiko pada performa aset keuangan, terutama pasar obligasi Indonesia yang terus mengalami arus keluar dana investor asing.
5. Pertumbuhan ekonomi domestik tetap kuat
Di tengah perlambatan ekonomi global, Indonesia diperkirakan dapat tetap mencatatkan pertumbuhan yang tinggi di atas pertumbuhan ekonomi global. Hal itu disebabkan berkah dari harga komoditas ekspor seperti batu bara dan minyak sawit yang naik tajam sepanjang 2022 ini.
Di Q4 2022, harga batu bara global diperkirakan akan tetap tinggi seiring berlanjutnya sanksi Eropa atas energi dari Rusia. Selain faktor komoditas, pertumbuhan domestik juga didukung reformasi yang dilakukan pemerintah terutama pada sektor komoditas nikel. Proses pengolahan nikel yang dilakukan di dalam negeri berpotensi menjadi katalis pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam lima tahun mendatang. Hal itu tentu akan menjadi katalis positif untuk mendorong pertumbuhan kelas aset saham domestik, khususnya pada kuartal 4 2022.
Berdasarkan gambaran prospek tersebut, Emil mengingatkan agar masyarakat tetap optimistis dalam menyikapi ketidakpastian yang terjadi, khususnya setelah Indonesia mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi di kuartal 3 lalu. “Risiko dan tantangan ekonomi domestik masih ada, tapi pasar keuangan Indonesia kali ini lebih solid dan diperkirakan mampu memberikan return yang relatif baik jika dibandingkan dengan pasar keuangan negara lain,” jelas Emil.
Walaupun kuartal 4 tahun ini dapat disambut dengan optimistis, namun investor tetap harus jeli dan hati-hati dalam menentukan strategi investasi terbaik mereka, khususnya dalam hal memilih produk investasi yang sesuai dengan tujuan finansial yang hendak dicapai.(*)
BACA JUGA: