Dullah, Pelukis Kepercayaan Bung Karno

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Selasa, 19 September 2017
Dullah, Pelukis Kepercayaan Bung Karno
Pelukis Dullah. (Nederlands Fotomuseum)

PELUKIS Dullah mendapat panggilan khusus ke istana. Soekarno berencana menunjuk seorang pelukis menjadi pelukis istana. Dullah, si kecil berambut keriting model poster tersohor “Boeng, Ajo Boeng” terpilih.

Alea jacta est! Dadu pertaruhan sudah kulemparkan. Dan kau harus menerima Dullah,” ujar Bung Karno seperti dikutip dalam buku Kisah Istimewa Bung Karno terbitan Kompas. Dullah tak ada pilihan lain.

Dullah mendapat tugas perdana dari Bung Besar untuk mengubah kaki lambang Garuda Pancasila. Semula jempol kaki burung Garuda tampak di depan pita, lalu diubah menjadi di belakang pita, seperti tampak pada lambanng Garuda saat ini.

Ternyata, tugas pelukis istana sangat banyak. Mulai dari membenahi lukisan koleksi istana, menyeleksi, lalu memajang lukisan tersebut di dining Istana Negara, Istana Merdeka, Gedung Agung Yogya, Istana Bogor, hingga Istana Tampaksiring, Bali.

Sementara gaji diterima sang pelukis tak begitu besar. Sebagai perbandingan, pelukis Lim Wasim -pelukis bawaan Lee Man Fong yang masuk istana tahun 1961- saja, seperti dikutip dari buku Melipat Air; Jurus Budaya Pendekar Tionghoa karya Agus Dermawan T, hanya bergaji tiga ribu hingga lima ribu rupiah saja. Apalagi Dullah menjadi pelukis istana pada tahun 1950-an.

Ketika nongkrong di istana, Dullah mendapat kerja besar untuk menyusun kitab koleksi lukisan-lukisan koleksi Sukarno. Dia pun menyusun kitab edisi pertama dan kedua. Masing masing jilid memuat 100 reproduksi lukisan. Kitab-kitab itu diterbitkan oleh Pustaka Kesenian Rakyat di Peking, Republik Rakyat Cina.

“Membuat buku koleksi ibarat membangun sebuah monumen di tengah kecamuk perang. Hanya dengan kemampuan gila saja kitab itu dapat terwujud," ujarnya kepada Agus Dermawan T dalam bukunya Bukit-bukit Perhatian: dari seniman politik, lukisan palsu sampai Kosmologi Seni Bung Karno.

Satu dekade menemani Sukarno mengejawentahkan rasa seninya, Dullah mengundurkan diri sebagai pelukis istana pada tahun 1960.

Kurang opo tho kowe? (kurang apa to kamu? -red),” tanya Sukarno.

Dullah membisu. Dia hanya ingin keluar.

Saiki aku ngerti. Kowe ora kurang opo-opo. Mung kurang ajar! (Sekarang aku mengerti. Kamu tidak kurang apa-apa. Hanya kurang ajar -red),” ujar Sukarno sembari menepuk-nepuk pundak Dullah. Mata si Bung pun berkaca-kaca. (*) Achmad Sentot

Baca pula artikel terkait pelukis Dullah; Pelukis Dullah Dan Cerita Guratan Kanvas Anak-Anak Revolusi

#Pelukis Dullah #Sejarah Seni Lukis #Soekarno
Bagikan
Bagikan