MerahPutih.com - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan selisih alokasi anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020.
BPK menemukan alokasi anggaran PEN sebesar Rp 841,89 triliun sementara Kementerian Keuangan hanya menyebutkan Rp 695,2 triliun atau ada selisih mencapai Rp 147 triliun.
Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi XI DPR Achmad Hafisz Thohir mengaku prihatin dengan adanya temuan tersebut.
Baca Juga:
Baru 62 Persen Legislator DKI Lapor LHKPN, Sekretaris DPRD: Mereka Lupa
"Bukan angka yang sedikit selisih Rp 147 triliun. BPK harus segera kami undang ke DPR menyampaikan secara detail bagian mana saja yang tidak kredibel tersebut. Ini persoalan serius karena menyangkut uang rakyat," kata Hafisz kepada wartawan, Kamis, (9/9).
Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2020 BPK, jelas Hafisz, BPK menjabarkan ada biaya-biaya terkait program PEN di luar skema sebesar Rp 27,32 triliun digunakan untuk alokasi anggaran belanja dalam APBN 2020 sebesar Rp 23,59 triliun.
"Belanja K/L yang tidak menggunakan tagging akun COVID-19 per 30 November 2020 sebesar Rp 2,55 triliun," imbuhnya.
Selain itu, kata dia, ada alokasi kas badan layanan umum (BLU) Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) kepada BLU-BLU Rumpun Kesehatan sebesar Rp 1,11 triliun.
"Ada relaksasi PNBP K/L sebesar Rp 79 miliar yang berasal dari insentif penundaan pembayaran PNBP," ujarnya.

Dijelaskannya lagi, temuan BPK juga mencakup fasilitas perpajakan yang diatur dalam PMK Nomor 28 Tahun 2020 selain PPN ditanggung pemerintah dan PP Nomor 29 Tahun 2020 yang belum masuk ke dalam penghitungan alokasi program PEN dengan nilai yang belum bisa diestimasi.
Selain di Kemenkeu, lanjut dia, BPK juga menemukan masalah terkait penyaluran bantuan sosial (bansos) di Kementerian Sosial. Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) penetapan Januari 2020 yang digunakan sebagai data penyaluran bansos tidak valid.
"BPK menemukan sebanyak 10.922.479 NIK penerima tidak valid, 16.373.682 nomor kartu keluarga (KK) tidak valid, 5.702 anggota rumah tangga dengan nama kosong, dan 86.465 NIK ganda," kata dia.
Hafisz menegaskan, selaku wakil rakyat, ia memastikan akan membawa dan mengawal persoalan ini dengan respons yang cukup memadai.
"Kita akan respons kuat dan akan kawal persoalan ini. Selanjutnya Komisi XI harus meminta Menkeu memberikan penjelasan yang logis dan bertanggung jawab. Selisih sedemikian besar itu ke mana saja larinya, Bukankah Menkeu kita ini punya seabrek prestasi dan penghargaan jadi kalau sampai kebobolan begini mesti diklarifikasi secara spesifik," tegas dia.
Baca Juga:
Bamsoet Usul Ketum Parpol Ganti Kadernya di DPR yang Malas Lapor LHKPN
Hafisz juga menyesalkan dengan adanya temuan tersebut menandakan bahwa cara eksekutif melakukan tata kelola (governance) dalam hal pengelolaan keuangan negara kurang kredibel.
"Menkeu seharusnya membangun sistem yang kuat sehingga tidak terjadi hal-hal seperti itu. Jangan sampai karena Menkeu sibuk sesuatu dan lain hal, lalu timbul kebocoran model begini, karena pada akhirnya sistem yang bocor harus bisa terpantau. Ini kritik konstruktif yang saya sampaikan untuk pemerintah khususnya Kementerian Keuangan," tutup dia. (Pon)
Baca Juga:
Harta Rata-rata Anggota DPR Rp 23 Miliar, Anggota DPRD Rp 14 Miliar