MerahPutih.com - Pemerintah Indonesia melalui pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan bahwa perjanjian Penyesuaian Area Layanan Navigasi Penerbangan atau Flight Information Region (FIR) antara Indonesia dan Singapura akan diratifikasi melalui Peraturan Presiden (Perpres).
Sedangkan ratifikasi perjanjian Defense Coperation Agreement (DCA) dan ekstradisi akan diproses melalui DPR RI dalam bentuk undang-undang (UU). Dasarnya UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Pasal 11 ayat 1 yang mengatur bahwa ‘Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden.’
Baca Juga
Menanggapi hal itu, anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta mengatakan, perjanjian FIR dengan Singapura ini harus diatur dengan Undang-Undang.
"Setidaknya ada 3 alasan yakni soal kedaulatan wilayah, amanat UUD NRI tahun 1945 dan amanat Putusan MK," kata Sukamta dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (18/2).
Pertama, ungkapnya, FIR merupakan kontrol wilayah udara yang wilayahnya ada dalam wilayah NKRI. Maka ini termasuk urusan strategis, terkait kedaulatan wilayah. Ia menyebut, bila negara asing melakukan kontrol di atas wilayah Indonesia bisa berbahaya.
"Bisa saja ada 55 negara lain yang mendelegasikan FIR-nya kepada negara lain. Tapi kita ingin Indonesia terus berdaulat untuk mengontrol wilayahnya,” ujarnya.
Kedua, amanat UUD NRI Tahun 1945 Pasal 11 ayat (1) mengamanatkan Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
“Ketiga, UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Pasal 10 sudah digugat ke MK pada tahun 2018 yang kemudian MK mengabulkan gugatan tersebut,” ujar Sukamta.
Ia menuturkan, Pasal 11 Ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 juga telah mengatur perjanjian dengan negara lain harus melalui persetujuan DPR, termasuk perjanjian FIR dengan Singapura.
Baca Juga
Pasal 11 Ayat (2) konstitusi juga menyatakan, Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undangundang harus dengan persetujuan
Dari berbagai aspek ini, lanjut Sukamta, sudah jelas perjanjian FIR harus dikonsultasikan dengan DPR untuk diatur dengan UU.
"Jika pemerintah menentukan sendiri bahwa ini diatur dengan perpres, tanpa konsultasi dan persetujuan DPR, itu sembrono namanya," kata dia.
Menurut Sukamta, proses ratifikasi perjanjian internasional sebaiknya memang melalui konsultasi dengan DPR, khususnya Komisi I, untuk dimintai persetujuan apakah nanti akan diatur dengan UU atau perpres.
Ia mengatakan, Komisi I DPR harus dilibatkan karena komisi tersebut merupakan mitra kerja Kementerian Luar Negeri yang mengurusi perjanjian internasional.
"Jadi, kami berharap pemerintah menunda dulu keputusan pengaturan FIR lewat Perpres ini, mereka harus konsultasi dengan DPR untuk mendapat persetujuan lewat UU," pungkasnya. (Knu)
Baca Juga
DPR Belum Terima Surpres Soal Ekstradisi dan FIR Indonesia-Singapura