MerahPutih.com - Desakan agar Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan judicial review tentang UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terus bermunculan.
Salah satunya adalah perwakilan dari pihak terkait DPR, Aboe Bakar Alhabsyi yang juga Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Menurut dia, penerapan sistem proporsional terbuka bertujuan untuk menjalankan kedaulatan rakyat secara nyata dalam kehidupan politik.
Baca Juga:
Di Sidang MK, DPR Sebut Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Paling Adil
Rakyat dapat menyeleksi dan memilih calon dari daftar yang disediakan partai.
"Pada kesimpulannya, DPR meminta agar MK menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya atau paling tidak menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," ujar Aboe yang dikutip di Jakarta, Jumat (27/1).
PKS yang juga hadir sebagai pihak terkait berpendapat bahwa MK perlu menguatkan putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 untuk penggunaan sistem proporsional terbuka dalam pemilu.
Aboe juga menyebut bahwa kekhawatiran beberapa pihak yang menyebut proporsional terbuka dapat berakibat pada pelemahan partai tidaklah benar.
"Dalam pengalaman PKS sebagai partai kader, dengan sistem proporsional terbuka, tetap menjadikan posisi partai yang memegang kendali gagasan anggota legislatif yang ada di forum legislatif," jelasnya.
Ia pun yakin bahwa di setiap partai politik yang ada di Indonesia juga memiliki sejumlah peraturan internal yang mengikat caleg ataupun anggota legislatifnya.
Sistem proporsional terbuka, lanjut Aboe, merupakan solusi dari hegemoni partai politik.
"Rakyat sebagai pemilih ditempatkan sebagai pemegang mandat utama yang dapat menentukan langsung wakil rakyat yang dipilihnya," ungkap Aboe yang juga anggota Komisi III DPR ini.
Baca Juga:
ICW Sebut Sistem Proporsional Tertutup Buka Ruang Nepotisme Internal Parpol
Sementara itu, kuasa hukum Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Zainudin Paru menyebut, pemohon tidak memiliki legal standing sebagaimana yang diatur dalam undang-undang terkait uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
“Ini sebagaimana merujuk Pasal 22 E ayat 3 UUD 1945 yang seharusnya mengajukan produk undang-undang ke Mahkamah Konstitusi adalah partai politik,” sambungnya.
Ia juga menjelaskan bahwa permohonan uji materi terkait sistem pemilu sudah pernah diajukan sebelumnya dan sudah diutuskan oleh MK bahwa sistem pemilu adalah proporsional terbuka.
“Ini juga sudah pernah diajukan di tahun 2008 tadi disebut di keterangan DPR, dan sudah diputuskan oleh MK bahwa sistemnya proporsional terbuka jadi ini sudah tidak relevan,” kata dia.
Zainudin menuturkan terkait perubahan undang-undang adalah ranah pembentuk undang-undang dan bukan kewenangan dari MK.
“MK tidak punya kewenangan yang sifatnya kebijakan tapi kalau terkait norma, maka itu merupakan ranah Mahkamah,” tutup Zainudin.
Sekadar informasi, perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu ini diajukan oleh sejumlah pemohon.
Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945. (Knu)
Baca Juga:
Sistem Pemilu Proporsional Terbuka atau Tertutup Urusan DPR