Dorong RUU TPKS Berpihak pada Korban, PSI Sampaikan Sejumlah Usul dan Saran

Andika PratamaAndika Pratama - Minggu, 03 April 2022
Dorong RUU TPKS Berpihak pada Korban, PSI Sampaikan Sejumlah Usul dan Saran
Ilustrasi - kekerasan seksual. ANTARA/Ardika/am.

MerahPutih.com - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) terus menyoroti draf Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang tengah dibahas di DPR. Sejumlah usul dan saran pun diajukan.

Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, Grace Natalie menyatakan, LBH PSI, Direktorat Perempuan dan Anak DPP PSI, serta Komite Solidaritas Pelindung Perempuan dan Anak DPP PSI terlibat dalam proses ini.

Baca Juga

DPR Targetkan Pengesahan RUU TPKS Sebelum 15 April

“PSI terus mengamati dinamika dalam pembahasan pasal per pasal RUU TPKS yang mungkin saja malah mengurangi tujuan utama RUU TPKS ini, yakni soal perlindungan terhadap korban kekerasan seksual yang rentan dalam sistem hukum dan penegakan hukum dengan perspektif mengutamakan kepentingan terbaik korba," kata Grace dalam keterangannya, di Jakarta, Sabtu (2/4).

PSI mengusulkan agar RUU TPKS menjadi undang-undang yang mampu menghadirkan rasa aman dan keadilan serta kepastian hukum, pencegahan kekerasan seksual, dan perlindungan, penanganan, dan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual.

Pertama, kata dia, terkait jenis tindak pidana kekerasan seksual. PSI mengusulkan agar RUU TPKS mengatur tindak pidana, perkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, termasuk pemaksaan perkawinan terhadap korban dengan alasan menutup aib yang makin memperburuk kondisi psikis korban. Kemudian mengatur tindak pidana pemaksaan aborsi, dan kekerasan seksual berbasis jender secara online, seperti revenge porn.

“Kami mendorong agar pidana perkosaan tetap masuk, meskipun Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana juga menyertakan hal ini," kata dia dikutip Antara.

Kedua, kata dia pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan. PSI mengusulkan agar biaya visum et repertum, visum et repertum psychiatricum, serta pemeriksaan dan perawatan pemulihan korban kekerasan seksual dan/atau layanan kesehatan lainnya yang diperlukan korban sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual menjadi tanggung jawab pemerintah dan dapat diakses melalui BPJS Kesehatan.

Baca Juga

Komite III DPD Harap RUU TPKS Bisa Atasi Permasalahan Kekerasan Seksual


Selanjutnya juga harus ditetapkan standar minimum layanan pemulihan korban dan sejauh mana korban berhak mendapatkan layanan pemulihan jika pelaku telah dihukum, namun korban masih mengalami trauma yang mendalam dan layanan pemulihan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara.

Kemudian, menurut dia mesti ada aturan mewajibkan setiap pemerintah kabupaten/kota menyediakan rumah aman yang dapat diakses oleh korban dan saksi walaupun korban belum berani untuk memulai proses hukumnya.

Berikut, rumah aman yang memadai dari segi jumlah maupun fasilitasnya, serta benar-benar aman dan dirahasiakan untuk melindungi keamanan dan keselamatan korban maupun saksi.

Direktur Pemberdayaan Perempuan dan Anak DPP PSI, Imelda B Purba, mengatakan, agar korban tidak menjadi gentar melaporkan pelaku.

"Hanya karena takut dilaporkan kembali atas dugaan tindak pidana kesusilaan atau pornografi, perlu ada ketentuan tersurat dalam RUU TPKS guna mengecualikan korban kekerasan seksual dari pasal-pasal yang berpotensi mempidanakan korban," ucapnya.

Di antaranya dugaan tindak pidana kesusilaan maupun pornografi khususnya yang tercantum di UU Informasi dan Transaksi Elektronik UU Pornografi. Kemudian soal penghapusan jejak digital atau hak untuk dilupakan (the right to be forgotten). Korban revenge porn mengalami penderitaan mental yang berkepanjangan dan berat akibat pencemaran nama baik dan stigma negatif.

Meski, lanjut dia, pasal 26 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengatur mekanisme untuk itu, namun PSI mendorong RUU TPKS mengatur lebih spesifik untuk memastikan perlindungan terhadap korban secara lebih cepat dan optimal.

Selanjutnya, restitusi sebagai pidana wajib dan negara memberikan ganti kerugian yang adil, layak, dan komprehensif dalam hal pelaku dan pihak ketiga tidak mampu membayar restitusi. Restitusi seharusnya wajib dibayarkan dan bukan hanya sebagai pidana tambahan.

Terkait sanksi pidana, PSI mengusulkan pidana denda atas pelecehan seksual berbasis elektronik dalam RUU TPKS agar diperberat menjadi maksimal Rp750 juta.

PSI juga menyarankan pidana tambahan dalam pasal 11 ayat (1) RUU TPKS, yaitu ditambahkan dengan kastrasi/kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik seperti yang sudah diatur dalam Undang-undang Perlindungan Anak. (*)

Baca Juga

Ini 8 Muatan Materi Dasar RUU TPKS

#UU TPKS #PSI
Bagikan
Ditulis Oleh

Andika Pratama

Bagikan