MerahPutih.com - Hasil pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik Tahun 2020, menunjukkan, pelanggaran prinsip profesional mendominasi laporan dan sidang etik Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
Laporan DKPP tahun 2020 hingga tanggal 4 Desember 2020 menunjukkan terdapat 698 orang diadukan. Dimana KPU Kabupaten/Kota menjadi yang tertinggi dengan 334 orang dan Bawaslu Kabutan/Kota sebanyak 229 orang.
Baca Juga:
Berdasarkan wilayah putusan DKPP Tahun 2020, Provinsi Papua dan Provinsi Sumatera Utara menjadi zona merah. Karena lebih dari 50 aduan dengan laporan masing-masing 149 aduan dan 95 pengaduan.
Dari laporan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) berdasarkan hasil pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik Tahun 2020 memberi rekomendasi perlunya penguatan kelembagaan penyelenggara pemilu.
Selain itu, DKPP perlu melaksanakan tugas secara berkesinambungan dan profesional melalui pembaharuan hukum pemilu Tahun 2021. Dan penguatan SDM penyelenggara pemilu tingkat kabupaten/kota dalam penanganan dugaan pelanggaran kode etik badan ad hoc perlu penguatan.
"DKPP perlu mengembangkan sistem informasi penegakan kode etik penyelenggara pemilu untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara transparan dan akuntabel," kata Anggota DKPP Ida Budhiati.
Dalam Peluncuran dan Bedah Buku Karya Ketua DKPP, Muhammad berjudul ‘Etika & Pemilu Demokratis’ ia mengatakan, putusan DKPP mengonfirmasi penyelenggara yang hanya mengandalkan kemampuan tata kelola pemilu, tidak sedikit kasus, bahwa keahliannya itu justru untuk mengubah hasil pemilu. "Ini ahli juga, ahli mengubah hasil pemilu. Sayang sekali keahlian, pengalaman, dan durasi selama dia mengabdi sebagai penyelenggara, tahu mana lubang-lubangnya justru untuk melakukan manipulasi perolehan suara. Terjadilah kongkalikong, kedap kedip mata dengan peserta atau partai politik," ucapnya.

Ia menegaskan, tugas mulia KPU, Bawaslu, DKPP, dan masyarakat sipil seharusnya memastikan siapa warga negara yang mayoritas dipilih oleh rakyat di kotak suara harus dikawal secara berjenjang sebagai pemilik kursi atau pemenang pemilu.
Akan tetapi, lanjut ia, fakta membuktikan ternyata ada orang yang menang di TPS, berubah direkap kecamatan, berubah lagi di kabupaten, berubah lagi saat dilantik. "Oleh karena itu, sekali lagi saya mencoba menulis supaya keduanya ini jangan dipertentangkan tetapi justru harus dikuatkan, disinergikan, dipadukan untuk melahirkan sebuah pemilu atau pilkada yang demokratis,” ujarnya.
Baca Juga:
Konflik Kepentingan dalam Pemilu Harus Dicegah