Dilema Pemerintah Hadapi Kritik Berujung Pelaporan Polisi

Alwan Ridha RamdaniAlwan Ridha Ramdani - Senin, 15 Februari 2021
Dilema Pemerintah Hadapi Kritik Berujung Pelaporan Polisi
Presiden Jokowi. (Foto: setkab.go.id).

AJAKAN Presiden Joko Widodo menyampaikan kritik pada pemerintah, ditanggapi pro dan kontra. Selama ini, publik menilai beberapa kritik yang dilontarkan langsung dilaporkan pada polisi atau diserang buzzer di media sosial.

Padahal, kritik bakal hidupkan mesin demokrasi yang menciptakan kebersamaan dalam semua proses pembangunan. Serta di alam demokrasi kritik harus dipahami sebagai hal wajar tidak perlu berujung pelaporan polisi atau bui.

Pengamat Komunikasi Politik Emrus Sihombing mengingatkan, untuk hati-hati dalam mengkritik atau membaca kritik. Karena, kritik sebagai salah satu bentuk pesan komunikasi politik, bisa mengandung berbagai muatan politis atau agenda politik tertentu.

Baca Juga:

Banyak Makan Korban, Peneliti Minta UU ITE Dicabut

"Untuk itu, masyarakat harus skeptis (tidak mudah percaya) terdahap semua bentuk dan muatan pesan kritik. Inilah saya sebut kritik untuk kepentingan politis, bukan untuk perbaikan, apalagi kebersamaan," ungkapnya.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan, pernyataan Presiden Jokowi, kalau pemerintah terbuka terhadap kritik adalah sikap yang sungguh-sungguh.

"Itu menjadi sikap dasar pemerintah," kata Mahfud dalam siaran video yang diterima dari Humas Kemenko Polhukam, di Jakarta, Senin dini hari.

Menanggapi pernyataan Wakil Presiden Ke-12 Jusuf Kalla mengenai cara kritik pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) agar tak dipolisikan, menurut dia, pemerintahan yang sehat dan demokratis terbuka terhadap kritik.

"Presiden Jokowi menyatakan silahkan kritik kalau memang diperlukan perbaikan bagi pemerintahan," ujar Mahfud.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan, warga pun bebas melapor ke polisi jika ada suara kritis karena laporan ke polisi terhadap suatu kritik bukan dilakukan oleh pemerintah.

"Kami juga tidak bisa menghalangi orang mau melapor, melapor itu kan hak rakyat. Bukan pemerintah yang melapor," tuturnya.

Mahfud menyinggung laporan salah satu keluarga JK ke polisi terkait pencemaran nama baik.

"Tidak apa-apa melapor, lalu polisi melihat apakah ada kasus kriminalnya atau tidak," ujarnya.

Dia menjelaskan, sejak JK menjadi wapres, menyikapi kritik terhadap pemerintah sudah menjadi dilema karena bila kritik ditindak, maka pemerintah bisa disebut diskriminatif. Tapi, kalau tidak ditindak malah menjadi liar.

"Itu konteksnya pertanyaan Pak JK, bukan berarti sekarang mengkritik dipanggil polisi. Nyatanya juga tidak begitu," jelas Mahfud.

Di era Jokowi-JK, kritik terhadap pemerintah pun berseliweran dari nama-nama seperti Saracen, Muslim Cyber Army, dan Piyungan.

"Jika ditindak orang ribut, jika tak ditindak juga orang ribut. Inilah demokrasi, oleh sebab itu pemerintah mengambil hal-hal kritik dimasukan ke dalam pertimbangan-pertimbangan kebijakan," katanya.

Demo buruh tolak Omibus Law UU Cipta Kerja. (Foto: Antara)
Demo buruh tolak Omibus Law UU Cipta Kerja. (Foto: Antara)

Saat ini, banyak pihak meragukan dengan permintaan Presiden Joko Widodo atau Jokowi agar masyarakat lebih aktif mengkritik pemerintahannya. Tak jarang, pengkritik terancam berujung pada kasus hukum dengan dalih melanggar Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Catatan KontraS, hingga Oktober 2020, ada sebanyak 10 peristiwa dan 14 orang yang diproses karena mengkritik Presiden Jokowi. Lalu, ada 25 orang diproses dengan objek kritik Polri, dan 4 peristiwa dengan 4 orang diproses karena mengkritik Pemda. Mereka diproses dengan penggunaan surat telegram Polri maupun UU ITE.

Politisi PDIP Hendrawan Supratikno berharap, kritik masyarakat kepada pemerintah disampaikan sesuai fakta dan objektif, agar dapat menjadi masukan vital bagi pembuat kebijakan publik.

"Kritik yang objektif, jujur, didukung data, justru menjadi masukan vital bagi perbaikan kebijakan publik," kata Hendrawan, di Jakarta, Sabtu.

Dia tidak menganjurkan pengkritik memutarbalikkan fakta serta menyemburkan kebohongan dan kebencian.

"Sebab, kebohongan yang bergerak lebih cepat itu berbahaya di tengah masyarakat yang majemuk dengan tingkat literasi yang beraneka," katanya. (Knu)

Baca Juga:

Awas ! Bicara Tanpa Fakta, Kena 4 Tahun Penjara dan Denda Rp 750 juta

#Kapolri #Kritik Pedas #Demokrasi Indonesia #Mahfud MD
Bagikan
Bagikan