Ramadan 2018

Di Pulau Dewata, Sejumlah Kampung Muslim Hidup Damai Berdampingan

Dwi AstariniDwi Astarini - Jumat, 18 Mei 2018
Di Pulau Dewata, Sejumlah Kampung Muslim Hidup Damai Berdampingan
Ilusttrasi toleransi warga Bali. (foto: beritabali)

TOLERANSI menjadi napas dalam kehidupan keseharian masyarakat Bali. Hal itulah yang membuat hidup di Pulau Dewata berjalan harmonis. Meskipun sebagian besar penduduk Bali ialah pemeluk agama Hindu, sekitar 13% penduduknya merupakan umat muslim.

Di tengah adat dan ritual Hindu yang kental, berkembang pula sejumlah kampung Islam yang tetap memegang keislaman dengan mengasimilasikannya ke kebudayaan setempat. Tidak mengehrankan jika kini sejumlah kampung Islam berkembang di Bali. Mereka unik, punya budaya yang khas. Meskipun demikian, hidup rukun dengan tetangga berbeda suku dan agama tetap berjalan setiap harinya. Menarik ya. Berikut Merahputih.com rangkum beberapa kampung Islam yang ada di Bali.



1. Kampung Loloan, Jembrana

kampung loloan
Salah satu rumah Bugis di Kampung Loloan. (foto: teluklove)



Berada di Kabupaten Jembrana yang jadi pintu masuk Bali dari Banyuwangi, Kampung Loloan merupakan permukiman khas nelayan. Sejak lama, kampung ini terkenal dengan penduduknya yang meayoritas beragama Islam. Bahkan, Kampung Loloan merupakan kampung Islam terbesar di Jembrana.

Awal mula berdirinya Kampung Loloan tak bisa dilepaskan dari kedatangan orang Bugis dan Melayu ke tanah Bali. Seperti dikutip dari laman Bimas Islam Kementerian Agama RI, Kampung Bugis di Desa Loloan bermula dari kedatangan pasukan Bugis sekitar 4 abad lalu, tepatnya pada 1653. Ketika itu, Belanda telah menguasai Benteng Somba Opu di Makassar. Pasukan penjajah pun mengejar para prajurit yang memeluk Islam tersebut.

AKhirnya, para prajurit itu menetap di wilayah Perancak. Bukti kedatangan mereka di wilayah itu bisa dilihat dari keberadaan Sumur Bajo di pinggir pantai. Kedatangan mereka pun diketahui penguasa Jembrana saat itu, I Gusti Arya Pancoran.

Karena I Gusti Arya Pancoran berkenan, para prajurit itu kemudian diperkenankan menempati daerah Loloan. Sejak itulah, didirikan kampung Islam di Loloan Timur dan Loloan Barat. Sejak saat itu, hubungan harmonis antara penganut Islam dan Hindu pun terjalin.

Pada 1675, Kampung Islam Loloan kedatangan seorang ulama besar asal Sarawak, Malaysia, bernama Buyut Lebai. Karena hubungan masyarakat muslim yang sedemikan baiknya dengan penguasa saat itu, Buyut Lebai diperkenankan melakukan dakwah di daerah tersebut. Kini, makam Buyut Lebai masih dihormati dan dikramatkan warga Kampung Islam Loloan.

kampung loloan
Makam keramat Buyut Lebai di Kampung Loloan. (foto: balebengong)

Berbagai suku hidup berdampingan selama sekian lama membuat budaya masyarakat di Kampung Islam Loloan bercampur baur. Hal itu jelas terlihat dari bahasa yang digunakan di kampung itu. Base Loloan, demikian mereka menyebutnya. Bahasa itu merupakan bahsa Melayu yang bercampur dengan banyak kosakata bahasa Bali. Saking lekatnya kehidupan sosial mereka, warga Loloan menyebut warga kampung sekitar dengan sebutan 'nyama' (saudara).

2. Kampung Pegayaman, Buleleng

kampung pegayaman
Masjid di Kampung Pegayaman bercandi bentar khas Bali. (foto: duniamasjid)

Kampung Pegayaman merupakan sebuah desa di Kecamatan Sukasada, Buleleng. Sebanyak 90% penduduk Kampung Pegayaman ialah muslim. Meskipun demikian hubungan antara masyarakat muslim di Pegayaman dan orang-orang Hindu di sekitarnya telah terjalin sejak abad ke-17. Seperti dilansir laman Bimas Islam Kemenag RI, penduduk kampung Pagayaman dipercaya berasal dari para prajurit Jawa atau kawula asal Sasak dan Bugis yang beragama Islam. Mereka dibawa Raja Buleleng pada zaman kerajaan Bali. Mereka kemudian ditempatkan di daerah berbukit yang dikelilingi pepohonan rindang.

Meski menjaga tradisi asal dan agama Islam, masyarakat muslim di daerah tersebut tetap menyerap banyak budaya Bali. Sebagai contoh, bahasa Bali kerap digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, dalam sistem pengaturan desa, Pegayaman menerapkan sistem banjar dengan membagi desa menjadi lima banjar, yaitu Dauh Margi (sebelah barat jalan), Dangin Margi (timur jalan) Kubu Lebah, Kubu, dan Amertasari. Yang tak kalah unik, pertanian di daerah Pegayaman pun tetap mengandalkan sistem subak yang bersumber dari satu bendungan bersama, yaitu Bendungan Yeh Buus.

kampung pegayaman
Kesenian hadrah Kampung Pegayaman. (foto: youtube)

Akulturasi budaya Bali, agama Hindu, dan agama Islam amat kentara terlihat di Desa Pegayaman. Seni burde (burdah) dan sokok base (daun sirih) merupakan contohnya. Seni burde adalah perpaduan lantunan salawat, seni tabuh, dan gerak tari Pegayaman. Nada lagu dan tariannya mirip dengan seni tradisional Bali. Sementara itu, sokok base adalah rangkaian daun sirih, kembang, buah, dan telur, pada batang pisang yang mirip dengan pajegan yang merupakan sarana upacara di pura Hindu.

Tradisi akulturasi lainnya ialah budaya bertukar makanan saat Lebaran yang disebut ngejot. Dalam tradisi Hindu, ngejot dilakukan saat menggelar hajat pernikahan atau upacara keagamaan. Selain itu, saat Lebaran tiba, perayaan Idul Fitri penduduk Pegayaman pun banyak mengenakan pakaian ataupun aksesori ala Bali.

Yang amat menarik, nama warga di Desa Pegayaman kerap merupakan perpaduan unsur nama Bali, Arab, dan terkadang Jawa. Oleh karena itu, nama Wayan Muhamad atau Made Yunus umum di desa ini.



3. Kampung Gelgel, Klungkung

kampung gelgel
Masjid Nurul Huda Kampung Gelgel. (foto:kampungislamgelgel.com)



Dipercaya sebagai permukiman muslim tertua di Bali, kampung Gelgel terletak di Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung. Perkembangan Kampung Gelgel berawal dari kunjungan Raja Gelgel ke Majapahit. Sepulang dari tanah Jawa, Dalem Ketut Ngelusir membawa 40 prajurit muslim. Sebagian di antara mereka memilih menetap di Bali. Dengan seizin Raja Gelgel itu, mereka lalu mendirikan Masjid Nurul Huda. Kini, masjid menjadi yang tertua di Bali.

kampung islam gelgel
Kesenian rudat Kampung Islam Gelgel. (foto: kampungislamgelgel)


Salah satu keunikan Desa Gelgel ialah adanya aturan bahwa kepala desa hanya boleh dijabat orang yang beragama Islam. Saat ini setidaknya ada sekitar 280 kepala keluarga atau sekitar 700 jiwa yang hidup di desa tersebut. Selain itu, di Desa Gelgel, terdapat tradisi rodatan. Tradisi itu berupa sebuah pentas musik islami yang dimainkan warga sekitar pada bulan-bulan tertentu.




4. Kampung Kecicang Islam, Karangasem

kampung kecicang islam
Kampung Kecicang Islam dipercaya berasal dari Tohpati Buda Keling. (foto: PWNU Bali)


Penamaan Kampung Kecicang Islam dilakukan untuk membedakannya dengan Kampung Kecicang Bali yang berada di barat daya kampung Islam tersebut. Penduduk Kampung Kecicang Islam percaya bahwa leluhur mereka berasal dari Tohpati Buda Keling. Setelah raja mereka meninggal, raja baru memindahkan penduduknya ke Kecicang dan Tohpati Kota dengan cara membuka hutan. Nama kecicang sendiri diambil dari nama bunga berwarna putih yang biasa dimasak oleh masyarakat setempat. Kecicang ialah nama lain honje dalam bahasa Bali. Sementara itu, sebagian lain menyebut kecicang berasal dari kata incang-incangan yang berarti saling mencari. Hal itu merujuk pada usaha bersatu lagi setelah perang pada zaman kerajaan.

Keunikan kampung Kecicang Islam ialah seluruh masyarakatnya menganut Islam. Mata pencaharian masyarakat kecicang sebagian besar ialah berdagang, bertani, dan sebagian lainnya memilih merantau ke luar Kecicang.

Masjid Baiturrahman yang telah berdiri sejak akhir abad 17 menjadi bukti bahwa Islam sudah lama berkembang di kampung itu. Seiring dengan pertumbuhan penduduk Kecicang, masjid pun diperbesar.

kampung kecicang islam
Kesenian rudat Kecicang Islam. (foto: karangasemkab.gov)

Sama seperti Kampung Gelgel yang punya keseian rudat, Kampung Kecicang Islam juga punya tradisi yang sama. Kesenian itu merupakan akulturasi budaya Bali dan Timur Tengah. Selain itu, masyarakat Kecicang masih tetap menjalankan tradisi keagamaan seperti tahlilan, ziarah, dan selamatan.

Hubungan antara masyarakat Kecicang Islam dan penganut Hindu di Bali sebagai mayoritas terjalin harmonis. Saat salat Idul Fitri, sejumlah polisi adat (pecalang) akan turut serta membantu mengamankan. Tradisi berbagi makanan atau ngejot pun kerap dilakukan di kampung ini. Tak hanya saat Lebaran, saat hari besar Hindu pun, warga Hindu akan ngejot ke saudara muslim mereka.

Hidup damai dalam kerukunan memang bikin adem ya. Semoga saja kerukunan antarumat di Tanah Air ini terus terjaga ya.(dwi)

Bagikan
Ditulis Oleh

Dwi Astarini

Love to read, enjoy writing, and so in to music.
Bagikan