AMINOEDIN Loebis dari kantor berita Antara Surabaya tergopoh-goboh tiba di markas Pemuda Republik Indonesia (PRI), sekarang Gedung Pemuda, 22 Oktober 1945. Ia mengabarkan bahwa Jakarta mengirim pesan tak lama lagi pasukan Inggris akan mendarat di Surabaya dengan kekuatan satu resimen.
PRI pun berinisiatif membentuk tim penghubung beranggotakan pemuda pandai berbahasa Inggris. Mereka di antaranya; Roeslan Abdulgani, Jetty Zain, Boesh Effendy, Djamal, Hamid Algadri, Maasjeiwi, dan Des Alwi.
Selang tiga hari, kabar dari Jakarta itu pun terbukti benar. Kapal HMS Waveney merapat Tanjung Perak pada 25 Oktober 1945. Brigade ke-49, pimpinan Brigadir Mallaby, tiba di Surabaya untuk menuntaskan 3 misi utama; mengevakuasi orang-orang sipil Belanda, mengevakuasi tawanan perang dan interniran Eropa, dan memulangkan orang-orang Jepang.
Ketika kapal Inggris itu akan memasuki teluk Surabaya, mereka mengirim kode meminta keterangan dengan isyarat lampu kepada pihak pelabuhan untuk memandu pendaratan. Tapi, terjadi salah paham di kedua pihak.
Pasukan republik tak paham isyarat lampu, sementara pihak Inggris mengira Surabaya masih dikuasai Jepang. Sempat tegang, namun kedua pihak masih bisa menahan tembakan.
Kapal pasukan Inggris, menurut Roeslan Abdulgani pada Seratus Hari di Surabaya Yang Menggemparkan Indonesia, berisi para perwira Inggris, namun para pasukan kebanyakan berdarah India dengan tubuh hitam tegap. Kedatangan Brigade ke-49 ini pun memantik kewaspadaan penduduk setempat.
Mallaby mengutus MacDonald bersama seorang petugas intelijen Inggris pergi menemui dokter gigi Moestopo, pemimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) Surabaya. Kepada Moestopo, dia menjelaskan tugas Sekutu. Tapi Moestopo tak lekas percaya. Moestopo berkeyakinan bahwa Sekutu membawa tentara Belanda di dalam kapal mereka untuk melucuti tentara Indonesia.
Moestopo, ketua Badan Keamanan Rakyat Jawa Timur, kemudian memustuskan berkeliling kota dengan mobil bak terbuka sembari terus berteriak, "Siap..Siap!".
Masyarakat saat itu sudah resah. Laskar-laskar perjuangan sudah siap senjata di tangan. Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo bahkan berubah pandang. Dia semula meminta agar rakyat Surabaya bersikap netral, malah kemudian membebaskan keputusan rakyat Surabaya sendiri.
"Maka segala sesuatunya sekarang terserah sepenuhnya kepada keputusan rakyat Surabaya. Terserah jullie yang ada di Jawa Timur," ucapnya kepada Des Alwi, seperti dikutip dalam buku Pertempuran Surabaya November 1945.
Mendengar keputusan Soebardjo, Des Alwi lantas bergegas menemui Gubernur Jawa Timur, Suryo. Dia melapor pandangan para pemimpin nasional. "Sudahlah mas begini saja, buatkan aku pidato," jawab Suryo.
Des Alwi pun segera menyusun teks pidato. Sekira pukul 23.00, mereka pun menuju studio Nederlands-Indische Radio Omroep (NIROM). Suryo pun mengucapkan pidatonya. Setelah selesai, rombongan ini kembali ke gubernuran untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya.
Gubernur Suryo memutuskan agar semua pegawai sipil secepatnya pindah ke Pansion Marijke di jalan Embong Sawo, kota Surabaya, nomor dua sebelah kiri dari Jalan Kaliasin.
"Lokasi pertahanan pasukan polisi telah dipindahkan ke daerah Bedjeng. Nanti jika Bedjeng sudah tidak bisa dipertahankan, pasukan sampeyan harus mundur ke arah Lamongan," ujar Des kepada anggota polisi Djarot Soebiantoro. (*) Vishal Rand