ANGIN menderu menggulung ombak. Burung camar bermain-main di atasnya. Mentari pamit perlahan meninggalkan cahaya nan perlahan menemaram memantul di butiran pasir putih Pantai Nyang Nyang, Kabupaten Badung, Bali. Tak mau ketinggalan momen terbaik, ponsel pintar langsung diraih untuk segera mengabadikan keindahan sunset tersebut.
Namun, saat akan menekan tombol merah, muncul pemberitahuan jika baterai ponsel lemah dan hanya tersisa 15 persen. Dipaksa merekam pun tiba-tiba ponsel mati total. Mau kembali dinyalakan namun pengisi daya portabel enggak ada, sementara penyambung daya atau charger lupa dibawa. Alhasil, sunset dramatis barusan hanya bisa dinikmati sendirian secara langsung seperti kebanyakan orang di masa pra-sosial media.
Di masa semua peranti masih analog, momen indah menikmati sunset atau sunrise serta panorama alam lainnya memang benar-benar ditujukan langsung kepada indrawi sehingga sangat sentimental, subtil, dan terkadang tak terulang. Tak mengherankan bila saat bertemu momen dengan alam banyak seniman menumpahkan kekagumannya dengan puisi serupa Lautan karya WS Rendra, atau lukisan seperti Lake View karya Hendra Gunawan, atau selaik para personel Slank menganggumi Campuhan, Bali, sehingga setelahnya hadir lagu Tepi Campuhan.
Namun, masa itu sudah berlalu. Dunia sudah beralih dari analog ke digital sehingga pelesetan filsuf Rene Descartes makin aktual. "Aku di sosial media, maka aku ada". Tiap kesempatan emas sebisa mungkin direkam lalu diunggah di sosial media. Bahkan kegiatan remeh-temeh sehari-hari pun sangat bisa jadi konten dengan jumlah penonton cukup besar.
Bagi digital native, keseharian justru di dunia maya bukan di dunia nyata karena tanpa kehadiran mereka di sosial media sehari saja maka lingkaran pertemanannya akan mencari dengan cemas. Teman satu circle-nya akan menganggapnya sedang galau, butuh me time karena bad day, atau berasumsi ada keretakkan persahabatan di antara mereka.
Hari ini, segala sesuatunya tentang kehadiran, berkegiatan, dan bersosial di sosial media jika ingin 'ada'. Pengguna aktif media sosial di Indonesia, menurut laporan We Are Social pada Juli 2022, tumbuh sebesar 12,35% dari tahun sebelumnya, dari 170 juta menjadi 191 juta pengguna. Data tersebut tak mengherankan karena tiap kali bangung tidur, hal pertama dilakukan tak sedikit orang dengan mengambil ponsel, lalu berselancar di sosial media dengan wajah masih kusam berminyak lantaran belum cuci muka.
Pandemi pada akhirnya turut mendorong banyak pelaku ekonomi skala UMKM migrasi ke digital. Dengan begitu ekosistem digital di Indonesia kian bertumbuh dan terus menguat. Namun, di saat semua kegiatan berlangsung di dunia maya, ada hal kecil sangat sepele terkadang bikin semuanya buyar. Ponsel dengan spesifikasi paling canggih pun tak akan mampu mengatasi masalah sepele itu.
Begitu baterai ponsel mati, pemiliknya bisa apa? Tentu saja sebisa mungkin pengisi daya portabel dan pengisi daya (charger) selalu ada, serta terakhir stop kontak. Sangat penting bagi orang di masa kini untuk selalu terhubung dengan ponsel sehingga ketinggal charger seolah menjadi bencana.
Charge atau mengisi daya, meski sepele, punya peran besar agar setiap orang terus terhubung dengan perantinya ke dunia maya. Di sisa-sisa daya, lumrahnya pemilik akan mengambil pengisi daya. Persis di sisa bulan terakhir tahun 2022, Merahputih.com menera tema Desember Charger untuk mengajak banyak orang sama-sama menyiapkan peranti sebagai pengisi daya di tahun depan.
Tahun depan, diprediksi banyak rintangan akan menghampiri, salah satunya resesi ekonomi global. Dalam usaha menyiapkan bekal untuk menghadapi rintangan tersebut, pada tiga bulan terakhir telah menyuguhkan beragam tips mengahadapi dampak resesi di Indonesia. Bekal-bekal tersebut sangat cocok dijadikan sebagai bahan baku dalam merancang resolusi.
Selama bulan Desember, Merahputih.com akan menampilkan ragam artikel berkait bagaimana cara masing-masing mempersiapkan diri menghadapi tahun depan atau istilahnya 'charger diri'. Penting untuk setiap orang bisa 'mengisi daya' agar bisa berkembang di tahun 2023 karena diprediksi banyak rintangan.
Warga +62 memang benar-benar butuh diisi daya, sebab setelah pontang-pontang bertahan hidup selama pandemi lalu bencana, kini bersiap menghadapi dampak resesi global. Namun, rintangan tesebut bukan berarti akhir perjalanan. Toh, pandemi nan begitu berat saja mampu dijalani meski dengan tertatih, apalagi rintangan lainnya. Apalagi Warga +62 punya semangat gotong-royong tinggi nan selama pandemi sangat jelas menampak.
Kini, di sisa hari-hari menjelang pergantian tahun, ada baiknya mengisi daya bersama-sama untuk menghadapi situasi tak terduga di tahun depan. 2023 PLEASE BE NICE!