Demokrasi Harus Ubah Birokrasi Jadi Instrument Pelayanan Masyarakat

Ilustrasi. (MP/Dery Ridwansah)
Merahputih.com - Memasuki tahun politik, para elite politik bekerja meraih simpati dan dukungan sebanyak-banyaknya merebut kursi bupati, walikota, gubernur, anggota dewan dan jabatan presiden. Lazimnya penyelenggaraan pemilu, janji-janji manis dan program-program simpatik menjadi jurus jitu para elite politik untuk menjaring dukungan suara.
Pilkada, pileg, dan pilpres merupakan sebuah proses seleksi kepemimpinan eksekutif dan legislatif dari tingkat lokal hingga nasional. Dari proses seleksi ini semestinya melahirkan kepemimpinan politik yang berpihak pada kepentingan masyarakat banyak dan birokrasi yang melayani publik.
Chairman Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED), Farouk Abdullah Alwyni menilai demokrasi yang berjalan saat ini masih melahirkan elite-elite politik yang belum berdampak fundamental untuk pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara.
Elit politik masih berkutat dengan kepentingan pribadinya masing-masing, baik hanya sekedar mengumpulkan harta maupun membangun pesona pencitraan untuk mengejar lebih jauh ambisi politiknya, di tengah-tengah disparitas ekonomi yang semakin tajam, dan kebanyakan rakyat yang belum terpenuhi kebutuhan pokoknya.
"Kita mengharapkan terbentuknya demokrasi substantive, bukan demokrasi semu. Demokrasi yang baik itu harusnya mengubah birokrasi menjadi instrument pelayanan masyarakat," kata Farouk dalam keterangannya di Jakarta, Senin (5/2).
Akibat system demokrasi yang tidak menyentuh persoalan mendasar, disparitas semakin tajam, karena pemerintah tidak hadir untuk keadilan dan peningkatan kesejahtreaan masyarakat seca ramerata.
Kesadaran politik yang perlu dibangun adalah terkait penumbuhan keberanian masyarakat untuk menuntut perbaikan layanan publik di berbagai aspek mulai dari birokrasi pemerintahan seperti pengurusan akte lahir, akte kematian, kartu keluarga, dan pemakaman, isu perbaikan akses dan kualitas pendidikan serta kesehatan, pembangunan infrastruktur jalan yang memadai dan transportasi publik, isu perlindungan konsumen, kebersihan lingkungan, sampai dengan perbaikan layanan institusi penegakan hukum dan peradilan.
"Setiap kepala daerah harus dituntut seoptimal mungkin memberikan layanan yang prima kepada publik, harus ada upaya mengurangi “paper work” dan lebih menuju “paperless” birokrasi, di butuhkan perampingan birokrasi layanan publik, yang kita miliki sekarang adalah terlalu panjan mulai dari RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Walikota, sampai dengan Pemerintah Daerah (Gubernur)," jelas Farouk.
“Perlu ada pemotongan struktur birokrasi agar masyarakat tidak di bebani kebutuhan tanda tangan yang terlalu banyak,” tukasnya.
Bagikan
Angga Yudha Pratama
Berita Terkait
The Habibie Center Kembali Gelar 'Habibie Democracy Forum' Hadirkan Mahfud MD Sebagai Pembicara

Apa Itu Demokrasi? Pengertian, Penjelasan, Makna hingga Sejarah di Indonesia

Ditanya Bakal Bahayakan Demokrasi, Prabowo: Itu Hanya Akal-Akalan Saja

Perindo: Jokowi Bapak Perusak Demokrasi

Dosen FISIP UI: Demokrasi Indonesia Mundur Satu Generasi

Pemilihan Ketua Baru MK Digelar Hari ini, Anwar Usman Diminta Tak Ikut Memilih

Sekjen PDIP Sebut Demokrasi Indonesia Sedang Diuji, Nepotisme Menguat
KontraS Nilai Demokrasi Semakin Mundur di Periode Kedua Jokowi

Prabowo Singgung Demokrasi Kekeluargaan saat Bertemu Yusril

Fadli Zon Ungkap 2 Hal Penting Perlu Dikawal agar Demokrasi Tak Terkikis
