Secuplik Riwayat

Datu Andi Djemma, Pejuang Sekaligus 'Sang Koruptor' Pada Masa Pemerintahan Kolonial

Noer ArdiansjahNoer Ardiansjah - Jumat, 23 Februari 2018
Datu Andi Djemma, Pejuang Sekaligus 'Sang Koruptor' Pada Masa Pemerintahan Kolonial
Datu Andi Djemma (kedua dari kanan) bersama keluarganya di Luwu, Sulawesi Selatan. (Istimewa)

BAGI masyarakat Indonesia yang tinggal di luar Sulawesi mungkin tak mengenal baik nama Andi Djemma. Namun, tidak bagi orang-orang Luwu.

Sebab, Andi Djemma merupakan teladan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebagai keturunan raja, Andi Djemma rela mengorbankan kemewahan dan berjuang mengusir penjajah di tanah kelahirannya.

Andi Djemma adalah anak dari Andi Kambo, raja (datu) Kerajaan Luwu. Ia lahir pada Selasa, 23 Februari 1901 di Palopo, Sulawesi Selatan. Ia memulai pendidikan formal di Inlandsche School (sekolah dasar untuk pribumi selama 5 tahun) pada 1910.

Di dalam lingkungan istana, Andi Djemma sering diajak orang tuanya menghadiri rapat-rapat adat sehingga mendapatkan pengetahuan yang cukup tentang masalah pemerintahan dan kemasyarakatan.

Pada tahun 1919 ia bekerja di pemerintahan kolonial sebagai Sulewatang (kepala distrik) Ngapa. Empat tahun kemudian, dipindahkan ke Ware.

Pada tahun 1931, pemerintah kolonial Belanda memberhentikan Andi Djemma dari Sulewatang Ngapa.

Pasalnya, kolonial Belanda menduga bahwa Andi Djemma kerap menggunakan uang pemerintah untuk membiayai sebuah organisasi yang dianggap bertentangan dengan pemerintahan.

Tak ayal pemerintah kolonial Belanda menanggung kerugian yang cukup besar.

Andi Djemma pun akhirnya kembali ke istana. Pada tahun 1935, Datu Luwu Andi Kambo meninggal dunia.

Walaupun Andi Djemma merupakan putera datu dan sudah diangkat sebagai wakil datu Luwu, tidak berarti secara otomatis ia ditetapkan sebagai pengganti raja. Ada tiga calon yang berhak akan pengganti raja, termasuk Andi Djemma.

Namun, pendukung Andi Djemma dari Tanah Toraja mengancam pemerintahan kolonial dan Dewan Adat, bakal terjadi pertumpahan darah jika datu tak diberikan kepada Andi Djemma.

Mereka menilai, Andi Djemma berhak melanjutkan kerajaan berdasarkan trahnya sebagai penerus raja. Karena ancaman tersebut pula, akhirnya pemerintah kolonial Belanda menetapkan Andi Djemma sebagai Datu Luwu.

Pertahankan Kemerdekaan Melawan NICA

Pertengahan Oktober 1945, Datu Andi Djemma memprakarsai pertemuan raja-raja Sulawesi Selatan.

Dalam pertemuan tersebut, mereka menyatakan tekad bahwa raja-raja di Sulawesi Selatan berdiri di belakang pemerintah Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.

Selain itu, Datu Andi Djemma menyatakan bahwa Kerajaan Luwu dan para pengawalnya adalah bagian dari Indonesia.

Ia juga menegaskan, Kerajaan Luwu menolak kerja sama dengan aparat Nederlandsch Indie Civil Administratie (NICA, Pemerintahan Sipil Hindia Belanda).

Pada awal November 1945, satu rombongan pasukan Australia (sekutu kolonial Belanda) tiba di Palopo, Sulawesi Selatan.

Antara komandan pasukan kolonial dan Andi Djemma mencapai sebuah kesepakatan. Kesepakatan itu berisikan bahwa pasukan kolonial datang hanya untuk melucuti tentara Jepang.

Sedangkan pemerintahan sipil di Luwu tetap dipimpin oleh Andi Djemma.

Komandan pasukan Australia Brigadir Jenderal Chilton mengumumkan bahwa NICA adalah bagian dari pasukan sekutu dan rakyat Sulawesi Selatan, sehingga Luwu wajib mentaati perintah NICA.

Mereka pun kerap melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap rakyat. Patroli ke berbagai tempat dan memantik bentrokan dengan rakyat.

Dengan perlindungan pasukan Australia, pasukan NICA semakin berbuat seenaknya. Bahkan pada 21 Januari 1946, pasukan penjajah tersebut memasuki masjid di Kampung Bua, dan merobek-robek Alquran.

Melihat kekejian itu, rakyat Sulawesi Selatan pun bangkit.

Andi Djemma atas nama Kerajaan Luwu mengirimkan ultimatum kepada Brigjen Chilton untuk segera angkat kaki dari Palopo dan Sulawesi Selatan.

Jika ultimatum tersebut tidak diindahkan, Kerajaan Luwu bersama rakyat akan mengobarkan perang terhadap pasukan Australia dan NICA.

Ternyata perang tak dapat dihindarkan. Pertempuran sengit terjadi di setiap sudut desa.

Nahas, kolonial Belanda mendapatkan bala pasukan dari Makassar sehingga mereka berhasil kuasai Palopo. Merasa terjepit, para pemuda mengungsikan Andi Djemma.

Pada 2 Juni 1946, Andi Djemma dan istri serta semua yang berada di pengusian Batu Pute berhasil ditangkap kolonial Belanda.

Kemudian mereka dibawa kolonial Belanda ke Kolaka, dan pada tanggal 6 Juni 1946 dipindahkan lagi ke Makassar. Andi Djemma ditempatkan di tangsi polisi di Jongaya.

Dari Jongaya dipindahkan lagi ke Bantaeng, kemudian ke Pulau Selayar.

Pada tanggal 4 Juli 1948, sidang Adat Tinggi Luwu memvonis Andi Djemma dengan hukuman 25 tahun pengasingan di Ternate.

Selain terhadap Andi Djemma, sidang juga menjatuhkan hukuman terhadap dua orang puteranya, yakni Andi Ahmad dan Andi Makkalau.

Andi Ahmad divonis mati, tetapi kemudian diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup, sedangkan Andi Makkalau divonis 20 tahun pengasingan di Morotai. Di samping itu, terdapat pula empat orang lainnya yang dijatuhi hukuman.

Dalam pengasingan di Ternate, Andi Djemma tidak ditempatkan di penjara, tetapi di sebuah rumah sewaan.

Pengasingan itu tidak lama dijalaninya sehubungan dengan adanya pengakuan kedaulatan oleh Belanda terhadap Indonesia pada akhir Desember 1949.

Ia dibebaskan pada tanggal 2 Februari 1950, dan pada 23 Februari 1965 saat berusia 64 tahun, Andi Djemma wafat.

Untuk menghormati jasa-jasanya, pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 8 November 2002 memberikan gelar kepada Andi Djemma sebagai Pahlawan Nasional. (*)

#Secuplik Riwayat #Pahlawan Nasional
Bagikan
Ditulis Oleh

Noer Ardiansjah

Tukang sulap.
Bagikan