SEBAGIAN besar warganet mengandalkan media sosial sebagai sumber informasinya. Mulai dari berita tentang selebriti hingga berita seputar kesehatan.
Sangat mudah mendapatkan sebuah informasi dari berita yang melenggang secara bebas melalui feed. Dimanjakan oleh kemudahan mendapatkan berita di sosial media membuat kita enggan mencari berita yang berasal dari jurnalisme yang baik.
Baca Juga:

Ketika kita terbuai dengan keyakinan bahwa kita tidak perlu lagi mencari jurnalisme yang baik, kita bisa menjadi bagian dari masalah ketidaktahuan dan berujung pada jebakan hoaks. Dan kita dapat membuat penilaian etis yang kurang tepat tentang para pencari berita yang sesungguhnya.
Di tahun 2018, Newman menyebutkan lebih dari 60 persen warganet mengandalkan seluruhnya atau sebagian pada platform media sosial untuk sumber berita mereka. Banyak orang-orang itu percaya bahwa mereka memiliki "diet berita" yang baik.
Pada kenyataannya mereka terjebak pada berita keliru. Parahnya lagi, sebagian besar cenderung merasa ahli beropini atau menjadi pakar daripada pelaporan berita yang sebenarnya. Lebih lanjut, apa yang mereka lihat di feed mereka tidak dirancang untuk meningkatkan kesadaran mereka akan dunia dan lebih untuk mengawasi platform media sosial.
Menurut Bazelon, konten yang memicu emosi panas cenderung berhasil menghasilkan klik dan berbagi. Itulah yang cenderung dipromosikan oleh algoritme platform. "Penelitian menunjukkan kebohongan lebih cepat menjadi viral daripada pernyataan yang benar,” tutur Bazelon.
Media sosial menawarkan ilusi literasi berita tetapi apa yang sebenarnya diberikannya hanyalah sedikit kebenaran yang menyenangkan. Ia menjadi jendela dunia yang setengah tertutup. Ketergantungan akan media sosial kita yang berlebihan menggoda kita untuk membuat pernyataan tentang dunia, tentang jurnalisme.
Baca Juga:

Banyak warganet yang mempertanyakan, "Mengapa media tidak meliput ini?" ketika sebuah berita panas lebih cepat mencuat di sosial media. Padahal, kenyataannya, jurnalis telah meliput berita yang dipermasalahkan. Sayangnya, pekerjaan mereka tidak pernah muncul di akun media sosial atau seluruh dunia tidak mencurahkan banyak perhatian padanya.
Salah satu fakta menyedihkan yang begitu menyesatkan adalah ketika warganet mulai percaya bahwa berita apa pun yang mereka dilihat di sosial media dirasa sudah cukup dan komprehensif. "Ketergantungan saya yang berlebihan pada sosial media menimbulkan perasaan bahwa saya lebih terinformasi," ujar Gil de Zuñiga. Menurut Gil de Zuñiga, orang-orang dengan konsep berpikir demikian juga kurang termotivasi untuk memilih.
"Ini juga telah dikaitkan, secara terbatas, dengan sinisme politik," ujar pakar komunkasi lainnya, Diehl. Lebih lanjut, orang-orang yang sangat bergantung pada umpan media sosial mereka lebih rentan terhadap berita tabloid dan informasi yang salah.
Dan itu bisa dibilang bencana bagi sejumlah besar jurnalisme penting yang diproduksi setiap hari. Jika orang yang berorientasi dengan sosial media tinggi merasa tidak perlu berusaha untuk menemukannya, mereka lebih percaya diri melontarkan penilaian yang tidak tepat tentang berita yang tidak mereka lihat. Literasi berita, dengan kata lain, seringkali menjadi mata rantai yang hilang dalam etika media.
Ada alasan moral penting untuk menolak siklus kepercayaan palsu di media sosial dan untuk benar-benar mencari jurnalisme yang baik. Aristoteles mengartikulasikan kewajiban moral untuk menumbuhkan karakter yang baik sehingga kita dapat berkontribusi kepada masyarakat sebagai warga negara yang berbudi luhur. Di antara tugas yang dikatakan oleh filsuf W.D. Ross yang kita semua miliki adalah tugas untuk perbaikan diri. (avia)
Baca Juga:
Literasi Media dan Digital, Kini Jadi Keterampilan yang Sangat Dibutuhkan