TIGA opsir Inggris di lambung kapal Royal Air Force tampak berbeda dari lainnya. Tidak nampak wajah garang serdadu India, atau tubuh pendek Gurkha, juga kulih putih tentara Inggris. Mereka berkulit kuning.
Ketiga pemuda Tionghoa tersebut ditunjuk untuk mengawal Soekarno. Mereka, Jap Kim Fie asal Jakarta, Cheng Yu Siong asal Singapura, dan The Boen Liang asal Buleleng, Bali.
“Mereka bertiga itu ialah parachutist pada barisan gerilya Chungking yang telah memerangi Jepang di Semenanjung Melayu mulai tahun 1944,” dikutip harian Soeara Rakjat, 31 Oktober 1945.
Sepak terjang mereka berawal ketika tergabung dengan pemuda-pemuda Hoachioa untuk memenuhi panggilan tanah airnya sebagai tenaga sukarela Pemerintah Central Tiongkok melawan tentara Jepang pada tahun 1939.
Mereka mendapat latihan tempur dan strategi perang untuk bekal menghadapi Jepang. Pada tahun 1944, bersama pasukan Chungking mendarat di Semenanjung Melayu dengan tugas mendesak pasukan Jepang.
Setelah Jepang menyerah, ketiga pemuda tersebut berpisah jalan dengan pasukannya menuju Jakarta. “Semata-mata untuk menengok keluarganya,”.
Bukan bertemu sanak keluarga, tugas baru justru menghampiri. “Mereka bertiga telah ditunjuk untuk mengawal beliau (Soekarno) beserta seorang opsir Inggris”.
Kedatangan Soekarno ke Surabaya merupakan respon atas permintaan Mallaby kepada atasannya di Jakarta, Panglima Divisi 23 India, Jendral Mayor DC Hawthorn, karena pasukannya sudah sangat terdesak. Badan-badan perjuangan, polisi istimewa, BKR, TKR berhasil membuat pasukan Inggris tersudut di seluruh lokasi di Surabaya.
Pihak Inggris meminta perundingan segera dengan pemimpin Indonesia, karena itu merupakan jalan keluar terbaik satu-satunya. “Alternatif lain adalah menyerah kepada rakyat. Tapi ini belum pernah terjadi dalam sejarah militer Inggris,” tulis Barlan Setiadijaya pada 10 November 1945, Gelora Kepahlawanan Indonesia.
Sesampai di lapangan terbang Morokrembangan, pesawat rombongan Soekarno dihujani tembakan BKR Pelajar karena disangka Angkata Udara Inggris. Ketiga pemuda Tionghoa langsung membuat barikade di sekitar Soekarno.
Tembakan terhenti saat mereka tahu sasaran mereka ternyata pemimpin besara revolusi, Soekarno. BKR Pelajar pun menyambut dengan pekik kemerdekaan.
Selama perjalanan menuju rumah Residen Soedirman hingga kantor gubernuran ketiga pemuda Tionghoa terus mengawal Soekarno. Bahkan, mereka tak pernah lepas kawalan ketika Soekarno mencoba keliling kota Surabaya.
“Waktu Bung Karno mengadakan perjalanan keliling di dalam kota Surabaya, ketiga pemuda tadi senantiasa beserta beliau, akan tetapi berhubung dengan sesuatu hal, maka mereka terpaksa tidak dapat turut kembali ke Jakarta bersama-sama dengan Bung Karno,” dikutip Soeara Rakjat. (*)