Catatan Kritis Ketua Peradi Terkait RKUHP

Andika PratamaAndika Pratama - Sabtu, 12 Mei 2018
Catatan Kritis Ketua Peradi Terkait RKUHP
Ilustrasi penegakan hukum (MerahPutih/Alfi Rahmadhani)

MerahPutih.com - Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), disusun dengan konsep dekolonialisasi, rekodifikasi, demokratisasi dan harmonisasi. RKUHP sendiri terdiri dari dua buku yaitu Buku I tentang Aturan Umum (asas-asas) terdiri dari 205 pasal dan Buku Il tentang Tindak Pidana terdiri dari 530 pasal. Dengan demikian, total RKUHP menjadi 735 pasal.

Ketua DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Luhut MP Pangaribuan mengatakan, bila dirinci lebih jauh materi Buku II RKUHP setidaknya terdapat 555 pasal yang secara khusus mengatur tentang tindak pidana, dan 1251 perbuatan di dalamnya yang diancam pidana.

"Dari 1251 perbuatan yang diancam pidana itu, ancaman pidana penjara paling tinggi yaitu sebanyak 1154 perbuatan, kemudian diikuti dengan pidana denda sebanyak 882 perbuatan. Dengan demikian dalam RKUHP pidana penjara merupakan pilihan utama untuk pengendalian tindak pidana," kata Luhut dalam seminar bertajuk "Pembahasan RUU KUHP dan Implikasinya terhadap Masyarakat" di Auditorium Sekretariat INTI Pusat, Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (11/5).

Ketua DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Luhut MP Pangaribuan. Foto: MP/Ponco

Luhut mencatat beberapa permasalahan RKUHP, pertama, misi rekodifikasi RKUHP akan terbuka kemungkinan untuk kembali membentuk peraturan hukum pidana di luar KUHP, padahal misinya rekodifikasi dan unifikasi.

"Dengan demikian ketidak-konsistenan politik hukum pidana pemerintah seperti ini akan membuat proses rekodifikasi KUHP "nasional" akan segera menemui kegagalan,"

Kedua, adanya gejala proses penyusunan RKUHP sebagai instrumentasi untuk menghukum kelompok-kelompok yang berbeda dan dianggap liyan oleh kelompok mayoritas.

"Ketiga, misi harmonisasi ini tidak menggunakan data sebagai basis pembentukan kebijakan hukum pidana (ovidence-based public policies) akan tetapi dilandasi opini (opinion based policy)," tuturnya.

Kemudian yang keempat, RKUHP dijadikan buku besar yang "sekedar memasukkan seluruh pasal-pasal pidana di luar KUHP.

"Konkritnya dari empat rasionalitas pembaruan hukum pidana dalam RKUHP yaitu dekolonialisasi, rekodifikasi, demokratisasi dan harmonisasi, hampir semua aspek akan menemukan tantangan yang berarti," ujarnya.

Oleh karena itu, sebagaimana diharapkan dalam tujuan Konsultasi Nasional Pembaruan Hukum Pidana sekarang ini meliputi 4 hal berikut, Pertama, mengetahui perkembangan dan dinamika proses pembaruan hukum pidana yang tengah berjalan.

"Kedua mendorong reaktualisasi nilai-nilai dan kerangka dasar pembaruan hukum pidana nasional yang dibentuk berdasarkan proses yang demokratis dan melibatkan para pihak yang berkepentingan," ungkapnya.

Kemudian yang ketiga, mengidentifikasi dan memetakan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam proses pembaruan hukum pidana.

"Keempat, mendorong penyusunan peta jalan pembaruan hukum pidana nasional yang berisi indikator yang dapat merespon kebutuhan pembangunan hukum nasional," ujarnya.

Pidana mati, kata Luhut, masih dianut RKUHP dan ancaman pidana mati diatur terhadap 37 perbuatan pidana. Adapun, pidana mati diancamkan secara alternatif dan bisa dengan penundaan pelaksanaan sampai dengan 10 tahun.

"Jadi ada perubahan dibandingkan KUHP Belanda. Dengan keempat konsep yang disebut para perancangnya sebagai misi di atas maka dicatat ada beberapa pembaruan dari KUHP Belanda yang kemudian dianut dalam perumusan pasal-pasal RKUHP," ujarnya.

Pembaruan tersebut, pertama konsep "Daad-dader Strafrecht" dan Viktimology. Kedua, konsep Daad-dader Strafrecht". Ketiga, tidak membedakan lagi antara tindak pidana (strafbaarferit) berupa kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Keempat, diakui adanya tindak pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat atau tindak pidana adat.

Kemudian yang kelima, subjek hukum mencakup pula "korporasi". Keenam, asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) tetap merupakan salah satu asas utama dalam hukum pidana.

"Namun demikian, dalam hal-hal tertentu sebagai pengecualian dimungkinkan penerapan asas "strict liability" dan asas "vicarious liability"," ucap Luhut.

Foto: MP/Ponco

Ketujuh, jenis pidana berupa pidana pokok, pidana mati dan pidana tambahan. Jenis pidana pokok terdiri atas, pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda dan pidana kerja sosial. Kedelapan, dalam pemidanaan dianut sistem dua jalur (double-track system).

Selanjutnya, kesembilan, rambu-rambu pemidanaan baru yang berkaitan dengan berat ringannya pidana yakni berupa ancaman pidana minimum khusus dengan syarat-syarat tertentu untuk memenuhi rasa keadilan. Dan terakhir jenis pidana, berat ringannya pidana, dan cara pelaksanaan pemidanaan secara khusus terhadap anak.

Menurut Luhut, dengan konsep perancangan demikian, sebagaimana diakui dalam RKUHP memang tetap akan terbuka kemungkinan untuk kembali membentuk peraturan hukum pidana di luar KUHP sebagai pengecualian.

"Alasannya untuk mengantisipasi perubahan dalam masyarakat," imbuhnya.

Namun demikian, perubahan itu diatur dalam ketentuan penutup yang nantinya sebagai ketentuan pengecualian pada RKUHP ini yang tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, UUD 45, HAM dan asas-asas hukum yang diakui masyarakat beradab.

Luhut menduga, penyusunan RKUHP sebagai instrumentasi untuk menghukum kelompok-kelompok yang berbeda dan dianggap liyan oleh kelompok mayoritas, tidak dibicarakan secara serius oleh Pemerintah dan DPR.

"Sebab RKUHP ini kenyataannya dengan mengambil alih beberapa undang undang yang sudah ada seperti Tindak Pidana Ponografi dan Pornoksi, Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Tindak Pidana di Dunia Maya dan Tindak Pidana tentang Informasi dan Transaksi Elektronik," tegasnya.

Karena itu, menurut Luhut, kesan misi harmonisasi tidak menggunakan data sebagai basis pembentukan kebijakan hukum pidana namun hanya dilandasi opini tidak bisa dihindari.

"Konkritnya dugaan RKUHP masih sebagai buku besar yang sekedar memasukkan seluruh pasal-pasal pidana di luar KUHP sulit dibantah," ujarnya.

Ilustrasi RUU KUHP. Foto: Rumah Cemara

Oleh karena itu, sambung Luhut, beberapa rumusan pasal-pasal yang disebut masih pending antara lain, terkait rumusan hukum yang hidup dalam masyarakat, tentang usia 70 tahun menjadi 75 tahun untuk sejauh mungkin tidak dijatuhkan hukum penjara, tentang penempatan tindak pidana khusus yang dianggap core crime seperti tindak pidana berat terhadap HAM, terorisme, korupsi, pencucian uang dan narkotika.

Kemudian, tentang mendirikan organisasi yang menganut ajaran komunisme Marxism-Leninisme, terkait tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil Presiden, terkait melakukan hidup bersama sebagai suami isteri di luar perkawinan yang sah.

"Semua itu perlu pembahasan lebih cermat dan lengkap lagi sebaik-baiknya. Sebab RKUHP ini juga bagian dari perwujudan Alinea ke IV UUD 1945 yakni untuk membentuk suatu Pemerinah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial". (Pon)

#Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)
Bagikan
Ditulis Oleh

Andika Pratama

Bagikan