MerahPutih.com - Pemerintah dan DPR resmi mengesahkan omnibus law Undang-undang (UU) Cipta Kerja pada sidang paripurna di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10) lalu. Publik bereaksi keras atas keputusan tersebut. Kritik dan protes pun dilayangkan melalui aksi demonstrasi hingga seruan di media sosial.
Reaksi tersebut didasarkan atas penilaian bahwa omnibus law Cipta Kerja hanya menguntungkan pengusaha. Sebab, terdapat sejumlah pasal yang dinilai justru merugikan, alih-alih meningkatkan kesejahteraan buruh sebagai pihak yang paling terdampak atas pemberlakuan UU Cipta Kerja.
Menariknya, dalam omnibus law itu juga terdapat beberapa pasal selundupan mengenai pendidikan. Sektor pendidikan seharunya tidak termasuk ke dalam omnibus law UU Cipta Kerja yang hanya dibatasi pada 11 klaster.
Baca Juga:
Buruh Tepati Janjinya Penuhi Gedung Grahadi
Sebanyak 11 klaster itu meliputi penyederhanaan perizinan; persyaratan investasi; ketekagakerjaan; kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM; kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; administrasi pemerintahan; pengenaan sanksi; pengadaan lahan; investasi dan proyek pemerintah; serta kawasan ekonomi.
Namun dalam praktiknya, masih terdapat aturan yang berkaitan dengan sektor pendidikan dalam UU Cipta Kerja. Padahal, pemerintah dan DPR sebelumnya telah sepakat mencabut klaster pendidikan dari RUU Cipta Kerja pada September lalu.
Pasal yang dimaksud menyangkut perizinan usaha pendidikan. Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) khawatir UU Cipta Kerja berpotensi mengkomersialisasikan lembaga pendidikan.
Berdasarkan salinan omnibus law cipta kerja, Paragraf 1 Pasal 26 huruf k UU Cipta Kerja menyatakan perizinan berusaha terdiri atas sektor pendidikan dan kebudayaan. Kemudian, Paragraf 12 Pasal 65 UU Cipta Kerja menyebut, pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha dan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Baca Juga
Buka Warung, Restoran, Minimarket, Usaha Keluarga Lebih Mudah Dengan UU Cipta Kerja
Heru menyebutkan, kehadiran pasal itu turut dikhawatirkan menempatkan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan. "Hal ini dikhawatirkan FSGI berpotensi menjadi jalan masuk kapitalisasi pendidikan," ujar Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo dalam keterangan tertulis.
Apabila merujuk Pasal 1 huruf d Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, menurutnya, definisi kata 'usaha' diartikan sebagai setiap tindakan, perbuatan atau kegiatan apapun dalam bidang perekonomian, yang dilakukan oleh setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.
Lebih lanjut, kata dia, pasal pendidikan dalam UU Cipta Kerja bertentangan dengan salah satu tujuan negara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Bahkan, Pasal 31 UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga dan negara wajib memenuhinya dalam kondisi apapun.
"Keberadaan pasal ini sama saja dengan menempatkan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan. Padahal pendidikan adalah usaha sosial bukan untuk mencari keuntungan," tegas Heru.
Senada, Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menyebut ketentuan itu berpotensi membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan perizinan usaha di sektor pendidikan secara leluasa. Karena, sudah ada payung hukum yang mengatur hal itu.
"Artinya pemerintah (eksekutif) dapat saja suatu hari nanti, mengeluarkan kebijakan perizinan usaha pendidikan yang nyata-nyata bermuatan kapitalisasi pendidikan, sebab sudah ada payung hukumnya," ujarnya.

Mengacu pada Pasal 1 ayat (4) UU Cipta Kerja, kata Satriawan, perizinan berusaha dijelaskan merupakan legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Satriawan menekankan, sektor pendidikan berpotensi tereduksi menjadi aktivitas ekonomi dan industri. Menurutnya, DPR telah ingkar janji terhadap pegiat dan dunia pendidikan.
Menjawab polemik yang berkembang, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan klaster pendidikan tidak dimasukkan dalam UU Cipta Kerja sehingga publik tidak perlu khawatir. Penegasan ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas polemik di masyarakat.
"Terkait perizinan (usaha) untuk pendidikan, kami tegaskan klaster pendidikan didrop dalam pembahasan, sehingga perizinan pendidikan tidak diatur dalam RUU Cipta Kerja," kata Airlangga melalui konferensi pers daring.
Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi menyatakan klaster pendidikan telah dicabut dari UU Cipta Kerja. Menurutnya, Pasal 65 UU Cipta Kerja merupakan jembatan perizinan lembaga pendidikan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
"Itu (Pasal 65 UU Cipta Kerja) sebagai jembatan untuk perizinan lembaga pendidikan di kawasan ekonomi khusus. Jadi di kawasan ekonomi khusus itu kan orang kaya semua, gitu. Tapi di KEK yang boleh mendirikan adalah pemerintah dan BUMN," kata Baidowi.
Baca Juga
MK: Penanganan UU Ciptaker Tak Terpengaruh Pernyataan Jokowi
Selain pasal menyangkut pendidikan, salah satu klaster yang juga diduga merupakan selundupan dalam UU Cipta Kerja yakni perpajakan. Padahal, layaknya pendidikan, perpajakan bukan merupakan klaster yang diatur dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Pemerintah dan DPR diketahui turut memasukkan sebagian substansi Omnibus Law UU Perpajakan ke dalam UU Cipta Kerja. Terdapat pasal-pasal menyangkut empat UU perpajakan yang dimasukkan, antara lain UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), serta UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Mengenai hal itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyanggah anggapan bahwa klaster perpajakan merupakan klaster selundupan UU Cipta Kerja. Ia menyatakan, substansi perpajakan yang dimasukkan memiliki tujuan yang sama dengan UU Cipta Kerja.
"Kalau ada yang mengatakan bahwa itu seolah-olah pemasukan pasal, itu tidak benar," ujar Sri Mulyani.
Ia mengakui, klaster perpajakan yang diatur dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja semula merupakan bagian dari Omnibus Law UU Perpajakan. Namun, dalam perkembangannya, pemerintah dan DPR sepakat untuk memasukkan sebagian substansi Omnibus Law UU Perpajakan ke Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Baca Juga:
KSPI Tak Ikut Demo Bareng Mahasiswa di Depan Istana Negara
Keputusan itu diambil, kata Sri Mulyani, lantaran sebagian pasal Omnibus Law UU Perpajakan telah dimasukkan ke Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan Covid-19. Sehingga, pasal-pasal yang tidak masuk dalam perppu kemudian dilebur dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Dirinya pun memastikan pasal-pasal perpajakan yang dimasukkan ke dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja juga tergolong dalam ekosistem investasi. (Pon)