Cap Negatif Penari Ronggeng dari Kolonialis

P Suryo RP Suryo R - Selasa, 19 Oktober 2021
Cap Negatif Penari Ronggeng dari Kolonialis
'Sang Penari' yang menguak dunia penari ronggeng. (Foto: Rini Yuliati-Gurusiana)

PENARI ronggeng dicitrakan negatif pada masyarakat. Citra miring pada penari ronggeng ini tak lepas dari kolonialisme di bumi Indonesia. Sebelum kolonialisme, penari ronggeng dipandang sebagai sosok terhormat.

Guru Besar Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Endang Caturwati menuturkan, di Tatar Sunda, tumbuh kepercayaan bahwa penari ronggeng jauh dari kesan negatif.

Baca Juga:

Lebih dari 9000 Orang Berpartisipasi pada Indonesia Menari Virtual 2021

budaya
Guru Besar ISBI Bandung, Endang Caturwati. (Foto: dok.Unpad)

Menurutnya, ronggeng di daerah Sunda pada masa lalu merupakan sosok perempuan terhormat. Ia merupakan seorang syaman (dukun) dalam berbagai upacara ritual, penasihat bagi masyarakat, menyembuhkan berbagai penyakit, serta peran yang bersifat positif.

“Pada cerita naskah-naskah kuno, ronggeng di daerah Sunda pada masa lalu merupakan sosok terhormat,” kata Prof. Endang saat menjadi pembicara pada Keurseus Budaya Sunda Kabeungharan Seni Tari Sunda yang digelar Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda Universitas Padjadjaran, pertengahan minggu lalu.

Kemuliaan kedudukan ronggeng dalam konteks ritual bahkan masih melekat hingga saat ini. Beberapa upacara adat yang berkaitan dengan pertanian hingga seni pertunjukan yang berkaitan dengan ronggeng sebagai Dewi Kehidupan. Di antaranya Upacara Sérén Taun di Kuningan dan Sukabumi, Upacara Ngarot di Indramayu, dan Upacara Ngalaksa di Sumedang.

Endang mengatakan, pergeseran makna ronggeng terjadi ketika masa kolonialisme Belanda. Pada 1700-an, pemerintah kolonial melalui VOC membuka hutan-hutan di Jawa Barat untuk dijadikan perkebunan. VOC juga merekrut banyak tenaga kuli kontrak maupun perempuan buruh pribumi untuk dipekerjakan di perkebunan.

Sosok ronggeng kemudian muncul sebagai penari hiburan. Memiliki peran sebagai penari penghibur, ronggeng menjadi ajang pelampiasan penat para pekerja setelah seharian bekerja. Alhasil, penampilan tari ronggeng melalui pertunjukan Tayuban saat itu kerap diisi dengan aktivitas mabuk-mabukan hingga pelacuran.

Baca Juga:

Festival Air 2021 Kota Cimahi Tentang Kelestarian Air dan Budaya

budaya
Film 'Sang Penari' yang mengangkat kehidupan penari ronggeng. (Foto: bersatoe)

“Ronggeng telah menjadi hiburan primadona, khususnya bagi para buruh kuli di area perkebunan,” kata Endang.

Hal ini menjadi peluang bagi VOC untuk menambah pundi-pundi dengan menerapkan “Pajak Ronggeng”, atau pajak yang dibebankan kepada penyelenggara yang menggelar hajatan ronggeng. Pada 1706, pajak ini mulai diterapkan dan ronggeng telah menjadi salah satu komoditi dari pemerintah kolonial.

Tak jarang pula, pertunjukan ronggeng memicu keonaran. Para pekerja yang terlibat keributan juga diwajibkan membayar denda kepada pemerintah.

“Adanya hiburan pesta ronggeng, kendatipun para kuli kontrak telah bekerja keras, uangnya selalu habis. Selain untuk menyawer, juga melacur, minum, judi, dan mengisap candu,” ujar Endang mengutip sejarawan Sartono Kartodirjo.

Kesan negatif tersebut diperkuat dari berbagai tulisan. Letnan Gubernur Hindia Belanda Thomas Stanford Rafles dalam laporannya juga menuliskan bahwa ronggeng dipandang memiliki konotasi negatif dan dekat dengan pelacuran. (Imanha/Jawa Barat)

Baca Juga:

Panduan Memahami Sebutan Kain Nusantara Kala Lampau

#Budaya #Tradisi #Seni Tari
Bagikan
Ditulis Oleh

P Suryo R

Stay stoned on your love
Bagikan