Merahputih.com - Vaksinasi gotong royong resmi diluncurkan. Sejumlah perusahaan mulai menggunakannya untuk para pegawainya.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyoriti pemberian vaksin yang dilakukan secara berbayar. Setiap transaksi jual beli dalam proses ekonomi berpotensi menyebabkan terjadinya komersialisasi oleh produsen yang memproduksi vaksin dan pemerintah sebagai pembuat regulasi.
"Terutama terhadap konsumen dalam hal ini rakyat termasuk buruh yang menerima vaksin,” ujar Said Iqbal kepada wartawan di Jakarta, Jumat (21/5).
Baca Juga:
Menkes: Ini Saatnya Menggenjot Kembali Vaksinasi
Program vaksinisasi berbayar dikenal dengan nama Vaksin Gotong Royong. Sekalipun biaya vaksinisasi dibayar oleh pengusaha, dikhawatirkan akan terjadi komersialisasi vaksin. Dalam bentuk transaksi jual beli harga vaksin yang dikendalikan oleh produsen (pembuat vaksin).
Awalnya pemerintah menggratiskan program rapid tes, tetapi belakangan rapid tes terjadi komersialisasi dengan harga yang memberatkan. “Ini yang disebut komersialiasi," jelas Said.
Ia menyebut, tidak menutup kemungkinan program vaksi gotong royong juga terjadi hal yang sama. "Awalnya dibiayai perusahaan, tetapi ke depan biaya vaksin gotong royong akan dibebankan kepada buruh,” imbuhnya.
Said Iqbal memperkirakan, jumlah perusahaan menengah ke atas yang mampu membayar vaksin tidak lebih dari 10 persen dari total jumlah perusahaan di Indonesia.Dengan kata lain hanya 20 persen dari total jumlah pekerja di seluruh Indonesia yang perusahaannya mampu membayar vaksin gotong rotong tersebut.
Berarti hampir 90 persen dari total jumlah perusahaan di seluruh Indonesia atau lebih dari 80% dari total jumlah pekerja di Indonesia, perusahaannya tidak mampu membayar vaksin gotong royong. “Jangan membuat kebijakan yang manis di depan tapi pahit di belakang bagi buruh Indonesia,” tegasnya.
Jumlah buruh di Indonesia sangat besar. Menurut data BPS 2020 jumlah buruh formal sekitar 56,4 juta orang. Sedangkan buruh informal sekitar 75 juta orang.
Dengan demikian, total jumlah buruh di Indonesia ada sekitar 130 jutaan orang. Bayangkan dengan keluarganya, maka total jumlah buruh dan keluarganya mendekati angka 200-an juta orang.
Said Iqbal lantas melontarkan pertanyaan, apakah seluruh perusahaan mampu membayar 200-an juta orang atau setidak-tidaknya 130-an juta buruh untuk mengikuti vaksin gotong royong.

Sebab jika harga vaksin gotong royong 800-an ribu dikalikan 130-an juta buruh, maka dana yang harus disediakan mencapai Rp104 triliun. "Ujung-ujungnya vaksin gotong royong hanya akan membebani buruh dari sisi pembiayaan,” tegasnya.
Dia meyakini biaya vaksin gotong rotong akan memberatkan perusahaan dan pada gilirannya nanti justru akan menekan kesejahteraan buruh.
Hal lain, mengingat jenis vaksin yang digunakan berbeda dengan vaksin yang selama ini diberikan secara gratis oleh pemerintah, Said Iqbal mengingatkan agar buruh tidak dijadikan uji coba vaksin.
Dengan kata lain, harus dipastikan vaksin yang digunakan halal dan aman. “Intinya, KSPI mengharapkan kepada pemerintah agar pemberian vaksin untuk buruh digratiskan,” tegasnya.
KSPI setuju dengan vaksin gotong royong, tetapi biaya ditanggung pemerintah. "Karena sesuai dengan perintah konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU Kesehatan, dan UU Karantina; program vaksinisasi COVID-19 ini adalah tanggungjawab negara," tandasnya.
Baca Juga:
Pengusaha Sanggupi Harga Vaksinasi Gotong Royong Rp879.140 Per Sekali Suntik
Dalam keputusan yang telah diteken oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada 11 Mei 2021 dijelaskan bahwa harga vaksin gotong royong buatan Sinopharm adalah Rp 321.660 per dosis. Dimana tarif pelayanan vaksinasi belum termasuk di dalam harga tersebut.
Dijelaskan, bahwa tarif pelayanan vaksinasi sebesar Rp 117.910 per dosis. Dengan demikian, jika dijumlahkan total harga sekali penyuntikan Rp 439.570 atau berkisar 800-an ribu untuk 2 kali penyuntikan. (Knu)