MerahPutih.com - Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) merilis hasil penelusuran mereka terhadap produsen obat yang mengakibatkan masalah gangguan ginjal akut pada anak.
Kepala BPOM, Penny Kusumastuti Lukito mengatakan bahwa produsen tersebut melakukan perubahan komposisi obat tanpa izin. Hal itu dilakukan tanpa sepengetahuan BPOM.
Baca Juga:
Penny menduga praktik ini sudah terjadi sejak masa pandemi COVID-19 mewabah pada 2020. Masalahnya, menurut Penny, bahan baku baru tersebut tidak memiliki sertifikasi farmasi.
Alhasil, dalam obat mereka ditemukan kadar Etilen Glikol (EG), Dietilen Glikol (DEG) dan Etilen Glikol Butil Eter (EGBE) yang melebihi ambang batas aman. Sejak pandemi ini mereka mengubah pemasok mereka menjadi pemasok bahan kimia.
"Sehingga bahan baku produk mereka banyak yang bukan berstandar sertifikasi farmasi," kata Penny, Kamis (27/10).
Penny menjelaskan terkait perbedaan sertifikasi pemasok bahan baku berpengaruh kepada kualitas obat. Sebab, bahan baku yang disertai dengan standar farmasi telah mengali berbagai macam proses pemurnian yang lebih kompleks.
"Sehingga harga bahan baku juga jelas berbeda dengan yang menggunakan standar kimia," kata dia.
Penny tak menyebut secara jelas produsen obat tersebut. BPOM terus telusuri perusahaan yang melakukan perubahan komposisi tanpa izin.
Baca Juga:
PKS Nilai BRIN Lamban Meneliti Penyebab dan Obat Kasus Ginjal Akut
Dia menyatakan bahwa saat ini Badan POM dan Polri masih terus menyelidiki produsen lainnya yang diduga mengubah bahan baku obat mereka tanpa mendapat izin BPOM.
"Kami saat ini masih telusuri terus obat-obatan ini termasuk kemana saja turunannya," ujar dia.
Badan POM akan memberlakukan sanksi kepada perusahaan-perusahaan yang diduga melanggar perjanjian izin edar dengan BPOM.
Peny menyebut sanksi tersebut berupa pencabutan sertifikasi, pelarangan izin edar, dan pemusnahan produk.
"Dan untuk perusahaan yang terbukti sengaja menggunakan empat bahan kimia penyebab EG dan DEG secara berlebih maka akan ada sanksi pidana," ujar dia.
Penny menyebut ada indikasi kejahatan lantaran syarat dari bahan baku tidak sesuai dengan ketetapan yang ada.
"Sedang dalam proses penelusuran, kemudian kemana lagi bahan pelarut tersebut diedarkan dan digunakan di mana lagi bahan pelarut berbahaya tersebut yang seharusnya tidak digunakan," ujar Penny. (Knu)
Baca Juga: