MerahPutih.com - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan hasil inspeksi terhadap obat COVID-19 yang dikembangkan Unair, BIN dan TNI AD. Hasilnya, BPOM menemukan bahwa proses uji klinis obat COVID-19 yang dikembangkan itu belum valid. Ada banyak hal yang masih harus diperbaiki agar obat tersebut dinyatakan valid dan mendapat izin edar BPOM.
“Dalam status yang kami nilai adalah masih belum valid dikaitkan dengan hasil inspeksi kami," kata Kepala BPOM Penny Lukito dalam konferensi pers virtual kepada wartawan.
Penny mengatakan, pihaknya melakukan inspeksi terhadap proses uji klinis pada 28 Juli 2020. Adapun uji klinis dimulai pada 3 Juli lalu. Dari hasil inspeksi itu, muncul temuan kritis berupa tidak terpenuhinya unsur randomisasi atau pengacakan subjek uji klinis.
Padahal, subjek dari suatu riset harus memenuhi unsur pengacakan agar merepresentasikan populasi. Pengacakan itu berkaitan dengan keberagaman subjek penelitian, seperti variasi demografi, derajat kesakitan, hingga derajat keparahan penyakit dari yang ringan, sedang, hingga berat.
Baca Juga
50 Persen Lebih Kasus COVID-19 di Indonesia Disumbang 20 Kota Besar
"Subyek yang diintervensi dengan obat uji ini tidak merepresentasikan keberagaman tersebut karena itu bagian dari randomisasi acaknya itu yang merepresentasikan validitas dari suatu riset," ujar Penny.
Penny mengungkap, proses uji klinis yang dilakukan Unair bersama TNI AD dan BIN ternyata melibatkan orang tanpa gejala (OTG) untuk diberi terapi obat. Padahal, sesuai dengan protokol uji klinis, OTG seharusnya tidak perlu diberi obat.
Selanjutnya, hasil uji klinis obat COVID-19 itu juga belum menunjukkan adanya perbedaan signifikan dengan terapi lainnya. Padahal, untuk dapat dinyatakan valid, uji klinis harus menunjukkan hasil yang signifikan.
"Suatu riset itu harus bisa menunjukkan bahwa sesuatu yang diintervensi baru tersebut memberikan hasil yang cukup signifikan, berbeda dibandingkan dengan terapi yang standar," tutur Penny.
Penny mengatakan, BPOM telah menyampaikan temuan inspeksi ini ke pihak Unair, TNI AD, dan BIN. BPOM pun meminta tim pengembang untuk memperbaiki proses penelitian mereka.
Namun demikian, hingga saat ini temuan inspeksi itu belum mendapat respons sehingga BPOM belum dapat menindaklanjuti kembali.
"Belum ada respons perbaikan dari tim peneliti. Dengan adanya tadi apa yang diserahkan ke kami, nanti akan dilihat lagi bersama dengan tim komisi peniliaian obat tentunya nanti kita lihat dari sana," ucap Penny.
Baca Juga
Menurut Penny, untuk dapat mengantongi izin edar BPOM, proses uji klinis suatu obat harus lebih dulu dinyatakan valid. Penny mengatakan, pengembangan obat COVID-19 ini bukan dititikberatkan pada kecepatan penyelesaiannya, tetapi validitas obat tersebut.
"Memang kita berusaha secepat mungkin tapi aspek validitas itu menjadi hal yang paling prioritas," kata dia.
Sementara itu, pengamat politik Boni Hargens menilai, para peneliti medis harusnya bersyukur ada pihak yang berjuang mencari solusi di tengah kemelut pandemi yang membawa kerugian dalam banyak dimensi.
"Harusnya kita sebagai anak bangsa mengapresiasi apa yang sudah dilakukan Unair, BIN, dan TNI AD karena mereka sudah berbuat sesuatu yang berguna untuk masyarakat pada saat banyak pihak hanya pandai berbicara tanpa berbuat apa-apa," kata Boni dalam keteranganya, Kamis (20/8).
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) ini menyebut, tidak penting apakah itu penemuan baru atau sebuah racikan. Toh intinya itu kerja keras yang berguna untuk menyelamatkan masyarakat.
"Maka kita harusnya memberi hormat dan mengucap terimakasih bukan malah mencibir," ungkap pria asal NTT ini.
Boni melihat, penelitian obat COVID yang dilakukan Unair, BIN, dan TNI AD adalah bukti kepedulian dan bagian dari komitmen moral untuk membantu bangsa dan negara. Ia berharap apa yang dilakukan ketiga lembaga itu terus didukung oleh semua elemen.
"Karena penelitian ini untuk kepentingan kita semua, bahkan untuk kepentingan seluruh umat manusia di dunia," terang Boni.(Knu)