Bisnis Taksi Online Beresiko Tinggi untuk Pengemudinya

Muchammad YaniMuchammad Yani - Senin, 06 November 2017
Bisnis Taksi Online Beresiko Tinggi untuk Pengemudinya
GrabCar the Art Car. Foto: (MP/Raden Yusuf Nayamenggala)

PENELITI Pusat Kajian Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada (UGM) Lilik Wachid Budi Susilo menegaskan bisnis taksi online memiliki risiko yang tinggi untuk para pengemudinya dibandingkan taksi berargometer. Banyak risiko harus ditanggung pengemudi taksi online sendirian. Dimulai dari risiko kesehatan, keselamatan, kerusakan mobil dan risiko gagal bayar mobil. Disatu sisi ia menilai para penyedia aplikasi memiliki risiko yang sangat kecil.

Lilik menjelaskan dalam sistem kemitraan taksi online, semua beban operasional ditanggung sepenuhnya oleh pemilik mobil. Mulai dari perawatan, asuransi mobil, pembelian onderdil, parkir, dan bensin. “Kalau taksi regular (berargometerkan) jelas semua ditanggung perusahaan taksi,” ujar Lilik saat Sosialisasi Peranturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek di Markas Besar Polda DIY Yogyakarta, Senin (6/11).

Sementara itu dari segi pendapatan dan pembiayaan pembelian mobil, Lilik menilai pihak pengemudi taksi online juga turut menanggung risiko yang besar. Pasalnya mobil yang dipakai murni milik sang pengemudi. Sehingga perusahaan penyedia aplikasi tak membiayai kredit pembelian mobil.

Namun disatu sisi perang tarif murah antar operator taksi online masih terus berlaku. Hal ini membuat pendapatan pengemudi taksi online terseok-seok dan terus merugi untuk membiayai cicilan mobil. “Dari penelitian kami, pendapatan dan pengeluaran, hampir keseluruhan pengemudi taksi online mengaku alami kerugian. Tarif makin murah tapi pengemudi makin banyak. Akhirnya enggak kuat bayar cicilan, banyak mobil yang gagal bayar dan ditarik lagi,” jelasnya.

Ini berbeda dengan pengemudi taksi argo dimana perusahaan taksilah yang membeli mobil taksi tersebut serta menguruskan izin operationalnya. Hal ini lah yang mendasarkan pihaknya untuk menyimpulkan sistem bisnis taksi online lebih banyak merugikan para pengemudinya.

“Kalau dari hitung-hitungan kami, supaya sebuah usaha tranportasi angkutan penumpang bisa mendapatkan laba, mereka harus memiliki armada minimal 50 unit. Padahal armada taksi online yang sekarang rata-rata hanya yang dimiliki satu orang,” tutupnya.

Sayangnya, meski mengaku rugi, namun pengemudi taksi online memilih menjadi mitra daripada tidak bekerja.

Karena itu, ia menilai kehadiran Permenhub 108/2017dirasa bisa melindungi para pengemudi taksi online. Ia menyarankan para pengemudi taksi online untuk berserikat dan membentuk organisasi untuk melawan system bisnis kepada operator taksi online. Tujuannya agar posisi tawar mereka menjadi lebih jelas dan kuat sebagai mitra.

“Kami berharap jangan sampai penerapan aplikasi kepada orang yang ingin bekerja, malah dia dikerjain,” pungkasnya. (*)

Berita ini merupakan laporan dari Teresa Ika, kontributor merahputih.com untuk wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Baca juga berita lainnya dalam artikel: Yogyakarta Hidupkan Kembali Karakter Budaya Lewat Pendidikan

#Taksi Online
Bagikan
Ditulis Oleh

Muchammad Yani

Lebih baik keliling Indonesia daripada keliling hati kamu
Bagikan