Lapsus: Mengupas Mitos Cheng Ho

Benarkah Armada Cheng Ho Membantai Ribuan Orang di Palembang?

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Sabtu, 16 Juni 2018
Benarkah Armada Cheng Ho Membantai Ribuan Orang di Palembang?
Guratan fragmen perjalanan hidup Cheng Ho di salah satu dinding Sam Poo Kong. (Foto: Rizki Fitrianto/MP)

SHI JINGING menghadap Laksamana Cheng Ho saat kapal ditumpanginya berada di perairan Palembang pada 1407. Jinqing melaporkan tindak-tanduk kebengisan (xiongheng) Chen Zuyi selama di pelabuhan, “Merompak barang-barang setiap kapal pendatang yang melintas,” di Pelabuhan Lama (Jiugang) –julukan Palembang dalam catatan Ma Huan dalam Mengarungi Pemandangan Indah di Seberangan Samudra (Yingya Shenglan).

Polah Chen Zuyi lantas memicu kerusuhan. Catatan Fakta Ming (Ming Shilu) bagian “Catatan Fakta Kaisar Yongle” (Taizong Shilu) jilid 71, menyebutkan pasukan Cheng Ho “membunuh lebih dari 5000 orang komplotan, membakar 10 kapal, menawan 7 kapal, dan merampas 2 stempel perunggu [lambang kekuasaan]”.

Belum berhenti di situ, “Chen Zuyi dan dua konconya ditangkap hidup-hidup, lantas dibawa pulang ke pusat kekaisaran di Nanking untuk dieksekusi mati dengan dipancung kepalanya di depan khalayak umum. Berkat jasanya menyingkap ‘kebengisan’ Chen Zuyi, kekaisaran menganugerahi tanda jasa bagi Shi Jinqing, dan mengembalikan kepemimpinan besar Pelabuhan Lama kepadanya agar bisa kembali menguasai wilayah tersebut,” pungkas Ma Huan.

Harus diakui, menurut beberapa catatan maupun laporan perajalan Mau, tujuh kali pelayaran Cheng Ho ke Samudra Barat (xiyang) tidak melulu berlangsung damai selaik informasi atau narasi bersar nan selama ini didengungkan. Buktinya, bahkan pada perjalanan pertamanya dimulai pada pertengahan 1405, armada Cheng Ho sudah langsung terpalit dengan pembunuhan besar-besaran di Palembang.

Keterangan teramat singkat dari Ma Huan, juru bahasa Cheng Ho nan sesungguhnya tidak ikut dalam ekspedisi perdana itu, menyisakan beberapa pertanyaan untuk kita sigi bersama. Misalnya, paling mendasar, benarkah Chen Zuyi bajak laut? Jika benar, lantas apakah Chen Zuyi, seturut kata Ma Huan pada era pemerintahan Kaisar Hongwu (1328–1398) “bersama keluarganya kabur ke daerah [Palembang] itu”, juga menyamun armada Cheng Ho?

Mengapa pula Chen Zuyi –alias Tan Tjo Gi bila dilafalkan dalam dialek Hokkien– “kabur” dari Tiongkok ke Sumatra? Dari kalimat “mengembalikan kepemimpinan besar Pelabuhan Lama” (gui jiugang wei da toumu) kepada Shi Jinqing, adakah kemungkinan persaingan politik atau ekonomi antara dia dengan Chen Zuyi yang sama-sama berasal dari Kanton?

Jawaban atas seretetan pertanyaan di atas tidak mungkin semata bersandar pada Yingya Shenglan atau karya Fei Xin, Menjelajahi Pemandangan Indah dengan Rakit Sakti (Xingcha Shenglan), dengan banyak menyadur buah pena Ma Huan itu. Memang, di situ Fei Xin menyatakan Chen Zuyi “datang menyerang (fan) armada kami.”

Masalahnya, informasi disuguhkan penerjemah Cheng Ho tersebut, justru bertolak belakang dengan riwayat Cheng Ho, terutama termaktub dalam Sejarah Ming (Ming Shi). Buku tarikh resmi dinasti Ming, selesai dikompilasi pada 1739 ini menyebut, selepas utusan Cheng Ho membacakan titah Kaisar Yongle (1402–1424), Chen Zuyi “berpura-pura menyerah, padahal berintrik untuk merampok rombongan kapal Cheng Ho.” Untungnya Catatan Fakta Ming yang saya nukil di muka melengkapi alur ceritanya, “Cheng Ho keburu mengendus muslihat Chen Zuyi. Cheng Ho lalu mengumpulkan serdadu untuk mewaspadai dan bersiap-siap kalau-kalau Chen Zuyi membawa massa untuk menjarah”.

Artinya, Chen Zuyi masih dalam tahap menyusun strategi penyerangan –jika benar dia berniat “menyerang” sesuai tuduhan– sebelum akhirnya lebih dahulu dibumihanguskan laskar Cheng Ho yang melakukan “pre-emptive strikes”.

Sejatinya, pengutusan duta Cheng Ho untuk membacakan titah Kaisar Yongle dan Chen Zuyi yang “berpura-pura menyerah” setelahnya, bisa kita jadikan benang merah untuk mengurai persoalan-persoalan yang saya kemukakan. Sebab, tampaknya, esensi titah Kaisar Yongle yang disampaikan melalui utusan Cheng Ho kepada Chen Zuyi, sama dengan yang disampaikan Tan Shengshou dan Yang Xin, utusan Kaisar Yongle kepada Liang Daoming, dua warsa sebelumnya, 1405. Yakni, panggilan pulang ke Cina karena mereka, Chen Zuyi dan Liang Daoming, ialah perantau Tionghoa dari Kanton yang melanggar “haijin” dengan “kabur” ke Palembang untuk berdagang.

Ringkasnya, “haijin” adalah kebijakan pelarangan melaut untuk berniaga secara mandiri ke luar negeri bagi seluruh warga Cina saat itu. Sejak berdiri, dinasti Ming (1368–1644) berangsur mempersempit lanskap perdagangan mancanegara hanya boleh dilakukan melalui dan/atau oleh pemerintah belaka.

Alhasil, pihak swasta –umumnya merupakan penduduk pesisir dengan pelabuhan internasional besar nan terkenal macam Kanton– yang merasa dikerangkeng ruang gerak mata pencahariannya sesudah “haijin” diberlakukan pada penghujung 1371, memilih menerobos regulasi dimaksud supaya kebutuhan hidup mereka yang utamanya bersandar pada jual-beli dengan negara lain lewat jalur maritim, bisa tetap terpenuhi seumpama ketika era pemerintahan dua dinasti pra-Ming: Song (960–1279) dan Yuan (1271–1368).

Padahal, sila tengok di Catatan Fakta Ming bagian “Catatan Fakta Kaisar Hongwu” (Taizu Shilu) jilid 231, dinasti Ming pada 1394 tegas memperingatkan, “barang siapa yang berani melanggar ‘haijin’ dan menggelar perniagaan secara mandiri dengan negara luar, pasti akan dihukum berat.”

Namun, dinasti Ming tentu tak rela kehilangan pundi-pundi pajak dari para saudagarnya. Makanya, dibikinlah ketentuan yang –meminjam istilah prinsip jurnalistik– “cover both side” plus konkret sebagai alternatifnya, boleh ditelusuri di Catatan Fakta Ming bagian “Catatan Fakta Kaisar Yongle” jilid 12, “Orang Tiongkok sudi pulang ke Tiongkok setelah kabur dan sembunyi di luar negeri, diampuni semua kesalahannya yang telah lalu, dihidupkan kembali usahanya, selamanya menjadi warga yang baik (liangmin); Orang Tiongkok yang kabur dan sembunyi di luar negeri kalau tetap bersikeras tidak mau bertobat pulang ke Tiongkok, kedinastian akan mengerahkan bala tentara untuk membasmi (jiao lu).”

Bisa jadi, Liang Daoming dan Chen Zuyi merupakan buronan kakap “haijin” yang paling awal mencecap pengejawantahan ketetapan di atas. Keduanya masing-masing menjadi contoh nyata eksil yang diganjar karena tunduk dan dihukum karena bangkang.

Benar saja, kepatuhan Liang Daoming terhadap panggilan pulang ke Cina pada 1405 –kemungkinan lantaran diciduknya anaknya sebagaimana uraian dalam jilid 3 Kajian Samudra Timur-Barat (Dong-Xi Yang Kao) yang usai ditulis Zhang Xie pada 1617– menjadikan mesin bisnisnya bisa terus “dihidupkan” oleh Shi Jinqing, asisten kepercayaannya, tatkala dirinya sedang mudik. Tapi sial, di waktu yang sama, terang sejarawan independen Zha Jizuo (1601–1676) dalam Kitab Ming (Ming Shu), Chen Zuyi “kian mendapatkan simpati masyarakat, menjadikan usahanya bisa bertanding dengan Shi Jinqing.”

Kiranya, makin besarnya pengaruh Chen Zuyi di tanah yang mulanya hanya didominasi oleh dirinya, dirasa bagai duri dalam daging bagi Shi Jinqing. Sayangnya, Cheng Ho sepertinya tak mau tahu persoalan begituan dan sekonyong-konyong menyikat habis Chen Zuyi tanpa tabayyun terlebih dahulu. Lenyaplah percuma ribuan nyawa orang-orang Palembang yang belum jelas betul apa salahnya. (*)

Novi Basuki, mahasiswa program doktoral di Sun Yat-Sen University, Tiongkok.

#Laksamana Cheng Ho
Bagikan
Bagikan