Belum Masuk Masa Kampanye, Terjadi Belasan Tindak Pidana Pilkada Serentak

Zulfikar SyZulfikar Sy - Senin, 31 Agustus 2020
Belum Masuk Masa Kampanye, Terjadi Belasan Tindak Pidana Pilkada Serentak
Ilustrasi pelaksanaan pilkada serentak 2020 di Jawa Timur (Ist)

MerahPutih.com - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menemukan 15 dugaan pelanggaran tindak pidana Pilkada Serentak 2020 sampai 28 Agustus 2020.

Dugaan pelanggaran tindak pidana ini ditemukan hingga tahapan pencocokan dan penelitian (coklit) tahapan.

Baca Juga:

Waspada Politik "Gentong Babi" dalam Pilkada 2020

Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo merinci, pelanggaran tersebut berasal dari tiga temuan dan 12 berasal dari laporan.

"Kemudian, 15 (dugaan pelanggaran) diteruskan kepada penyidik," ungkap Dewi dalam Rapat Koordinasi Nasional Sentra Gakkumdu melalui daring di Jakarta, Senin (31/8).

Dari 15 yang telah diteruskan ke penyidik, lanjut Dewi, sebanyak 12 dugaan pelanggaran dihentikan penyidik.

"Satu kasus masih dalam proses penyidikan, satu penuntutan dan satu telah divonis di pengadilan," kata Koordinator Divisi Penindakan Bawaslu itu.

Dalam kesempatan itu, dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Tadulako tersebut juga menyebutkan tren terlapor. Pertama, bakal calon kepala daerah, kedua penyelenggara pemilu atau KPU dan ketiga, kepala daerah.

"Bakal calon kepala daerah kalau saya tidak salah itu di Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Kemudian penyelenggara KPU di Provinsi Papua, Kabupaten Supiori, kemudian kepala daerah yang melakukan penggantian pejabat," papar Dewi.

Bawaslu (Antara)
Bawaslu (Antara)

Sementara itu, dugaan pelanggaran yang banyak dilaporkan yaitu soal pemalsuan dukungan calon perseorangan dan kepala daerah yang melakukan mutasi tanpa izin menteri.

"Tren dugaan pelanggaran ketiga yaitu menghilangkan hak seseorang untuk menjadi calon kepala daerah," tuturnya.

Ia lantas menyebutkan tantangan penanganan pelanggaran tindak pidana pemilihan yang menjadi tugas Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) di masa pandemi COVID-19.

Pertama, partisipasi masyarakat untuk melaporkan peristiwa dugaan pelanggaran pidana diprediksi akan rendah akibat pandemi COVID-19.

"Pilkada 2015 dan 2018 yang dilaksanakan tidak pandemik atau situasi normal itu data yang kita miliki angka laporannya jauh lebih rendah dibandingkan angka temuan yang artinya partisipasi masyarakat masih sangat rendah," kata Dewi.

Dewi khawatir tidak hanya rendahnya angka partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya, tetapi juga khawatir soal rendahnya partisipasi masyarakat dalam melaporkan dugaan pelanggaran.

"Padahal dalam beberapa peristiwa dugaan pelanggaran seperti politik uang, mahar politik sering terjadi di ruang tertutup itu sulit terdeteksi jajaran pengawas pemilu dan itu butuh partisipasi masyarakat untuk melaporkannya," kata perempuan asal Palu itu.

Dia beralasan, partisipasi masyarakat dalam melaporkan dugaan tindak pidana pelanggaran sangat dibutuhkan. Pasalnya, berpengaruh terhadap kualitas penanganan pelanggaran.

"Jika partipasi masyarakat ini rendah, maka kita khawatir kualitas penanganan pelanggaran di tahun 2020 ini rendah karena banyak dugaan tindak pidana pelanggaran yang tidak terdeteksi dan tidak dapat diproses," katanya.

Tantangan kedua, kata Dewi, waktu penanganan pelanggaran pidana yang sangat singkat dibandingkan dengan pemilu.

"Sebenarnya Bawaslu telah melakukan upaya untuk melakukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) tetapi putusan menolak permohonan JR itu sehingga waktunya tetap sama yaitu 3 + 2 hari kalender," jelasnya.

Tantangan ketiga, lanjut Dewi, pemanfaatan teknologi informasi yang belum terlalu dikenal dalam proses penanganan pelanggaran pidana.

Selain itu, tidak semua daerah memiliki akses jaringan yang memadai.

Hal ini dapat membuat kesalahan komunikasi dan dalam penanganan pelanggaran itu berisiko besar jika terjadi kesalahan dalam proses pemeriksaan.

Tantangan keempat yaitu maraknya praktik politik uang karena keadaan ekonomi yang menurun akibat pandemik.

"Menjadi kekhawatiran kita dengan kondisi ekonomi yang menurun, politik uang di tahun 2020 akan meningkat karena masyarakat menjadi sangat permisif terhadap politik uang," jelasnya.

Baca Juga:

Alasan PDIP Masih Rahasiakan Jagoannya di Pilkada Surabaya

Meski demikian, kata Dewi pengaturan politik uang dalam UU pemilihan sudah lebih baik karena subjeknya tidak terbatas orang-orang tertentu.

"Misalnya, peserta pemilu, peserta kampanye dan pelaksana kampanye. Tetapi subjeknya disebutnya adalah setiap orang dan itu membuat lebih mudah dalam menangani dugaan penganan pelanggaran karena tidak ada pembatasan terhadap subjek," ujarnya.

Selanjutnya terkait sanksi. Koordinator Divisi Penindakan Bawaslu itu menuturkan sanksinya jauh lebih besar daripada sebelumnya. Lalu pemberi dan penerima diberikan sanksi.

"Tetapi tentu melihat situasi pandemik COVID-19, kondisi ini yang kita khawatirkan akan menutup ruang partisipasi masyarakat karena kalau mereka melaporkan akan menjadi subjek yang dikenakam sangsi," tuturnya. (Knu)

Baca Juga:

Jumlah Kader PDIP yang Maju di Pilkada Serentak Plus Gambaran Koalisinya

#Pilkada Serentak
Bagikan
Ditulis Oleh

Zulfikar Sy

Tukang sihir
Bagikan